JAKARTA (Suara Karya): Indonesia sudah waktunya membentuk komisi intelijen yang punya tugas dan tanggungjawab mengawasi kinerja intelijen lembaga keamanan dan pertahanan negara, termasuk intelijen di instansi sipil.
Demikian dikatakan Wakil Ketua Komisi I DPR Tb Hasanuddin, Direktur Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi) Rizal Darma Putra, dan Koordinator Riset Imparsial Bhatara Ibnu Reza, di Jakarta, Senin (22/11).
Meski banyak pihak menginginkan agar intelijen lebih profesional, namun dikatakan Hasanuddin, pihak intelijen belum mau untuk berubah. Perilaku ketiadaan perubahan intelijen masih tercermin dari lembaga intelijen yang ada, seperti Badan Intelijen Negara (BIN).
"Apakah intelijen kita siap berubah? Saya bilang belum, bahkan dalam sebuah diskusi di komisi pun, pihak intelijen enggan berbicara terbuka tentang apa yang sudah dikerjakannya," ujarnya.
Karena itu, menurut dia, penting bagi dunia intelijen untuk segera membangun apa yang disebut sebagai komite intelijen yang di berbagai negara sudah ada dan digunakan untuk mengontrol intelijennya.
Upaya untuk membangun dunia intelijen bisa dilihat dari perkembangan draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Intelijen. Pada draf RUU tahun 2002 misalnya, disebutkan BIN boleh menangkap orang tanpa ada proses dan penasihat hukum.
Namun, ia mengatakan, draf itu berubah memasuki pengajuan revisi RUU intelijen 2010. Dari konsep awal penahanan selama tujuh hari misalnya, turun menjadi tiga hari, meski pun masih bisa dilakukan tanpa adanya pengacara. "Dalam pembicaraan informal, sempat ada tarik menarik fungsi Kodim yang awal boleh menangkap, meski akhirnya ditolak," kata Hasanuddin.
Catatan seputar RUU Intelijen, menurut Hasanuddin, fokus pada pembangun intelijen yang profesional, dan hanya untuk kepentingan negara dan bangsa.
Tragedi
Rizal mengatakan, indonesia tak perlu malu meniru pola intelijen yang dimiliki negara lain, seperti komisi intelijen Argentina. Komisi itu berisi senator, parlemen lintas komisi dan parpol yang memiliki akses ke data intelijen. "Komisi ini yang mengetahui dengan pasti kebutuhan pemerintah," ujarnya.
Menurut dia, komite intelijen telah menjadi kebutuhan mendesak bagi Indonesia. Ini diperlukan, untuk mengawasi secara langsung kinerja intelijen yang dimiliki setiap instansi, khususnya instansi keamanan dan pertahanan negara. "Komite intelijen itu penting agar tidak ada main-main dari intelijen, tentang apa yang mereka kerjakan," kata Rizal.
Seperti diketahui, lanjut Rizal, wilayah kerja intelijen sebenarnya dibagi dalam dalam dan luar negeri. Intelijen luar negeri biasanya digunakan untuk mengurus kejahatan-kejahatan lintas negara, seperti trans crimes atau cross border crimes. Sementara, intelijen dalam negeri perlu didampingi dengan tindakan polisional, yang memberi kesempatan lembaga lain untuk melakukan penangkapan.
Ia menyontohkan, dua lembaga intelijen BAIS dan BIA yang langsung menggunakan struktur organisasi TNI yang ada di daerah. "Sejarah membuktikan, bahwa tindakan para intelijen mereka menyisakan banyak tragedi, lantaran intelijen tidak bisa digugat, karena intelijen bukan aparat hukum, dan bisa dikenakan hukum," ujarnya.
Sementara, Bhatara menduga, BIN menginginkan adanya kewenangan khusus (special power) dalam UU Intelijen yang sekarang sedang digodok di Komisi I DPR. Kewenangan khusus itu telah mengabaikan keberadaan HAM.
Imparsial pernah mendapatkan draf RUU dengan cap rahasia di depannya. Almarhum Munir ketika itu sempat mengkonfirmasi ke BIN, namun dibantah. "Pada prinsipnya, intelijen itu pun harus membuka diri dan bersedia untuk diawasi seperti di Eropa yang intelijennya terkait dengan UU dan diawasi oleh eksekutif. Karena pada draf 2010, BIN ingin menguasai semua," katanya.
Sumber : Suara Karya
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment