Pasukan penjaga pantai Korea Selatan menolong seorang warga Pulau Yeonpyeong turun dari kapal di Pelabuhan Incheon, Korea Selatan, Rabu (24/11). Penduduk pulau tersebut dievakuasi setelah dibombardir peluru artileri Korea Utara, Selasa siang. Militer Korea Selatan menaikkan tingkat kewaspadaan dalam ketegangan terbaru yang terjadi di Semenanjung Korea.
Nada pemberitaan sebagian media China berpihak pada Korut soal serangan ke Korsel. Tajuk rencana Global Times menuduh sikap keras Korsel terhadap Korut sebagai penyebab kejadian itu. Pihak China juga setuju pada Korut yang menyatakan serangan terjadi karena provokasi Korsel.
Tak sepenuhnya sikap media China itu benar. Ketika Kompas turut diundang ke Istana Presiden Korsel di Seoul pada 6 November lalu, kepada Presiden Korsel Lee Myung-bak diajukan pertanyaan serupa. ”Ada kesan, di bawah kepemimpinan Anda, sikap garis keras terhadap Korut terlihat dan ini membuat negosiasi dengan Korut di bawah Anda menjadi relatif lebih sulit,” demikian pertanyaan terhadap Presiden Lee Myung-bak, yang hanya tertawa.
Dia hanya menegaskan, ”Korut memang harus berubah.” Mungkin maksudnya adalah agar Korut menjadi sebuah negara yang ramah terhadap tetangga, tidak bertindak ugal-ugalan. Seorang pejabat AS pernah mengatakan, Korut adalah negara ”bermulut besar”.
Serangan Korut terhadap Korsel bukan hanya yang terjadi pada hari Selasa (23/11). Namun, serangan terbaru ini merupakan yang terburuk sejak perang Korea (1950-1953).
Tak ada penjelasan resmi dari Pyongyang atas serangan yang merusak perdamaian kawasan. Pekan lalu, Pyongyang baru saja ”mengemis” bantuan beras dari Seoul meski belum disalurkan.
Aksi teror Korut terhadap Korsel paling terkenal adalah saat sebuah pesawat sipil Korea diserang dan menewaskan 115 orang. Tahun 1996, sebanyak 60.000 tentara Korsel dikerahkan untuk memburu sekelompok mata-mata Korut yang menyelinap dan membunuh tiga warga sipil dan satu tentara Korsel.
Korut juga pernah melakukan serangan terhadap sasaran Korsel di Myanmar beberapa waktu lalu. Korut juga menyerang kapal perang Angkatan Lut Korsel, Cheonan, tahun ini.
Mengapa menyerang?
Tetap tidak dijelaskan secara persis apa yang menyebabkan Korut bertindak gegabah, yang bisa menyeret Asia Timur, sentra pertumbuhan ekonomi global, terseret ke perang total.
Korut benar-benar tidak menunjukkan sikap yang layak dibela. Maka, tidak heran jika semua negara di dunia memberi pandangan, mulai dari yang paling halus sampai paling tegas.
Korut yang komunis, tidak demokratis, dan bertindak keji bagi warganya tak layak mendapatkan simpati. Menteri Unifikasi Korsel Hyun In-taek sudah menjelaskan sejarah panjang perhatian Korsel ke Korut.
Korsel selalu memandang Korut sebagai satu suku, satu bahasa, dan memang pernah menjadi satu negara dengan nama Chosun.
Di tengah tingkah polah Korut yang aneh, Korsel selalu bersedia memberikan bantuan pangan ke Korut. Korsel tak mengorbankan warga Korut dengan menghentikan bantuan walau Korut provokatif.
Demi kelangsungan reuni keluarga Korut-Korsel yang terpisah, Korsel rela mengirimkan bantuan pangan. Korsel menyatakan, bantuan itu bukan merupakan sebuah sogokan, tetapi merupakan sikap simpati pada sesama di Korut. Dan, bantuan itu tetap diberikan setelah serangan terhadap Cheonan. ”Bantuan seperti itu akan terus berlanjut,” kata Hyun In-taek.
Peran China
Tentu Korsel tetap menuntut perubahan sikap dari Korut. ”Kami meminta perilaku seperti itu diubah,” kata Hyun In-taek, soal sikap Korut yang ”gila”. Mungkin hal inilah yang dianggap Korut sebagai sikap garis keras dari Korsel.
Adalah sebuah tindakan logis, jika Korsel meminta sesuatu dari Korut, dan itu bukan permintaan berat, tetapi sebuah permintaan akan perubahan sikap. Ini tidak saja berguna bagi penciptaan hubungan lebih lebih baik atau jalan menuju reunifikasi.
Perubahan sikap Korut itu berguna juga bagi warganya, yang berkali-kali dilanda wabah kelaparan, dan lagi-lagi selalu dibantu oleh Korsel.
Negara ginseng ini juga tetap merindukan reunifikasi. Sebagaimana diutarakan Hyun In-taek, berapa pun besarnya biaya reunifikasi, Korsel sudah siap menanggungnya. Menteri Unifikasi ini menegaskan, ”Adalah sebuah kesedihan menyaksikan saudara sendiri terpisah.”
Lalu, apa yang menjadi alasan Korut menyerang Korsel? Dan, siapa yang membuat Korut berani gegabah?
Jepang dan Australia sudah meminta China memberi peran. Ini adalah ucapan implisit tentang pengaruh kuat China terhadap Korut. Kim Jong Il beberapa kali berkunjung ke China, termasuk saat meminta restu China terhadap suksesi kepemimpinan kepada putra bungsunya, Kim Jong Un.
China sering meminta agar AS dan Korsel tidak melakukan latihan militer bersama. Korsel sedang melakukan latihan sebelum Korut menyerang Selasa lalu. Apakah ini simbol kemarahan China? Jika iya, China juga harus dimintai tanggung jawab. Ekonomi China maju karena produk-produknya dibeli dunia. China harus menunjukkan tanggung jawab internasional dan tidak mudah merajuk, dan kemudian memanfaatkan Korut untuk membuat situasi di Semenanjung Korea menjadi panas.
Sumber: KOMPAS
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment