”Kami berharap pembelian senjata jangan parsial, tidak ada transfer teknologi, dan tanpa uji coba seperti terjadi selama ini,” kata anggota Komisi I DPR, Tubagus Hasanudin, yang dihubungi di Jakarta, Selasa (21/6). Padahal, sebanyak 49 persen usulan anggaran tersebut digunakan untuk belanja pegawai.
Dia mencontohkan pembelian pesawat latih dari Korea Selatan. Hingga kini belum ada transfer teknologi yang dilakukan kepada PT Dirgantara Indonesia. Demikian pula pembelian pesawat serbu udara-permukaan Super Tucano dari Brasil, tidak ditegaskan klausul transfer teknologi ke pihak Indonesia. Rencana pengadaan dua kapal selam bertenaga diesel juga dianggap kurang tepat karena teknologi diesel mudah dideteksi sonar.
Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pertahanan Hartind Asrin mengatakan, proses anggaran masih berlangsung, tetapi pihaknya fokus pada belanja rutin dan pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista). ”Kami juga melakukan ofset, yakni pembelian pesawat tempur udara permukaan dari Korea T-50. Sebaliknya mereka membeli pesawat CN-235 dari Indonesia,” ujar Hartind.
Dia menyatakan, Kemhan fokus pada kesiapan tempur atau minimum essential force (MEF). Selain itu, ada pembangunan Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian di Sentul, Bogor, yang membutuhkan biaya besar.
Namun, pembelian alutsista dalam jumlah kecil, seperti pengadaan dua atau empat pesawat tempur, dinilai tidak punya efek tangkal. ”Kenapa kita tak mengadakan secara utuh dalam satu tahun anggaran satu skuadron, semisal 18 Sukhoi senilai Rp 9 triliun. Tahun berikut bisa diadakan lima batalion tank. Praktis akan tersusun kekuatan utuh di darat, laut, dan udara,” ujar Hasanudin. Ia mengatakan, rencana anggaran itu menyinggung upaya perbaikan kesejahteraan prajurit yang kebanyakan masih merana.
RAPBN sektor pertahanan di Kemhan diusulkan Rp 3,3 triliun, di Mabes TNI Rp 7,03 triliun, TNI AD Rp 26,663 triliun, TNI AL Rp 13,249 triliun, dan TNI AU Rp 11,262 triliun.
Sumber: KOMPAS
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment