Pasukan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat dari Batalyon 641 Beruang dan Rejimen Askar Melayu Diraja (RAMD) Malaysia mengikuti apel pagi di Pos Gabungan Bersama Indonesia-Malaysia di Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, Jumat (15/10). Pasukan TNI berada di sebelah kiri dan pasukan RAMD di sisi kanan.
Subuh berganti pagi, Jumat (15/10) di Pos Gabungan Bersama Republik Indonesia-Malaysia di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Para prajurit TNI Angkatan Darat dan askar Tentara Diraja Malaysia berbaris di lapangan Pos Gabungan Bersama di bawah naungan bendera Merah-Putih dan Jalur Gemilang (bendera Malaysia).
Semua jalankan tugas sebaik mungkin menjaga kedaulatan negara. Apa ada pertanyaan?” tanya perwira Seksi Operasi Batalyon 641 Beruang, Letnan Satu Andry Christian, yang memimpin apel satu regu plus yang akan berangkat ke Pos Lintas Batas (PLB) Entikong-Tebedu.
Sesaat sebelum apel berlangsung, bus-bus malam antarkota antarnegara jurusan Pontianak-Kuching melaju melewati Pos Gabungan Bersama dan berhenti di depan gerbang PLB Entikong. Ratusan penumpang turun dan mengisi formulir keimigrasian.
Saat suasana hiruk-pikuk tercipta di depan gerbang PLB, Andry memerintahkan pasukan naik ke atas truk Isuzu warna hijau yang mengantar prajurit melewati jalan berbukit menuju pos mereka. Truk berhenti di sebuah Pos Aju. Tiga prajurit TNI dan seorang anggota askar yang berasal dari satuan Rejimen Askar Melayu Diraja (Royal Malay Regiment) masuk ke pos dan memberikan penghormatan.
Para prajurit TNI berbekal senapan tipe FNC (Fabrique Nationale) Belgia yang dibuat di Pindad dan askar Malaysia membawa senapan buatan Austria, Steyr, lengkap dengan teleskop.
Truk kembali bergerak menuju gerbang PLB. Para prajurit turun, melintasi gerbang PLB dan berjaga di sudut no men’s land di antara wilayah Indonesia-Malaysia.
Suasana sungguh kontras. Di wilayah Malaysia di PLB Tebedu, taman indah menghiasi bukit di kaki Gunung Entitik yang menjadi sempadan kedua negara.
Sebaliknya, di sisi Indonesia, suasana kumuh terlihat. Wajah-wajah pencari kerja berbaur dengan warga Kalimantan Barat yang ingin menjenguk keluarga ataupun bersekolah di Kuching dan bercampur dengan para calo yang menjajakan formulir imigrasi serta penukar uang ringgit. Suasana terminal yang kotor, pedagang kaki lima, warung dan taman yang tidak terawat, dan kolam yang kotor terlihat di sisi perbatasan Entikong.
Perkampungan di Entikong dalam pengamatan Kompas sejak tahun 2002 hingga kini tidak banyak berubah. Jalan berlubang, sampah, dan lingkungan kumuh terlihat di sana-sini.
”Tidak banyak kemajuan wilayah perbatasan. Orang dari pusat (Jakarta) kalau mengunjungi perbatasan juga memilih datang dari Kuching yang sarana jalannya lebih baik,” kata Haji Talib (62), tokoh masyarakat setempat.
Saat waktu menunjukkan pukul 06.00, suasana semakin ingar-bingar. PLB dibuka, ratusan orang, bus, truk, dan kendaraan kecil bergerak dari wilayah Indonesia ke pos Imigrasi, Karantina, dan Bea Cukai. Pada waktu bersamaan, hanya belasan pelintas yang datang dari wilayah Malaysia ke Indonesia.
Minim fasilitas
Lettu Andry pun memimpin anak buah yang segera menempati posisi di pintu keluar dan pintu masuk PLB Entikong.
Sersan Dua Andi bersama dua temannya memeriksa identitas pelintas batas dan mobil yang masuk dari Malaysia. Anggota TNI memeriksa barang bawaan secara perlahan. Itu pun tidak semua barang bisa diperiksa saksama.
Semua dilakukan secara manual, tidak ada metal detector, tidak ada kacamata pengintai malam (night vision), dan tidak ada pemindai suhu badan (thermal scanner).
”Kami mengajukan sejak tahun 2007 untuk perlengkapan baru, setidaknya metal detector,” kata Andry.
Sungguh miris melihat sarana yang dimiliki mengingat sebelum Imigrasi, Karantina, dan Bea Cukai memeriksa, pasukan TNI adalah garda terdepan yang menjaga perbatasan Indonesia.
”Saya nak balek Indon, Pak. Habis ambil gaji suami yang kerja di Samling,” ujar Rusmini kepada Andi yang memeriksa dokumennya. Rusmini adalah warga asli Kalimantan Barat yang suaminya bekerja di Sarawak.
”Ibu, kalau menyebut Indonesia, yah. Negara kita bukan disebut Indon,” ujar Andi kepada Rusmini yang dibalas dengan senyum.
Selanjutnya, warga Indonesia yang mengaku bekerja di Sarawak bergantian masuk ke Indonesia. Ada yang berjalan kaki, ada pula yang berombongan naik mobil sewaan berpelat nomor depan QK—nomor Sarawak. Satu per satu masuk ke wilayah Indonesia.
Beberapa kali mobil dengan muatan penuh terpaksa dibiarkan melintas karena tak mungkin diperiksa satu per satu muatannya.
Pagi itu, tidak banyak warga Malaysia yang melintas masuk dari Sarawak ke Kalimantan Barat.
Rawan kejahatan
Walau terlihat aman, kawasan perbatasan darat RI-Malaysia menyimpan segudang kerawanan. ”Kami menangkap kawanan perampok bersenjata api dan sindikat narkoba dalam sebulan terakhir,” kata Komandan Batalyon 641 Letnan Kolonel Trisaktiyono.
Pasukan TNI bersama polisi menangkap tujuh orang yang diduga perampok. Mereka membawa revolver dan dua bilah parang di Balai Karangan. Di lokasi lain, sindikat narkoba yang berusaha memasukkan sabu ditangkap saat memasuki wilayah Indonesia.
Trisaktiyono, yang kurang dari satu kuartal bertugas di perbatasan, harus menempatkan pasukan di 31 pos sejajar dengan perbatasan sejauh 967 kilometer.
”Saya sudah mengunjungi separuh dari total pos terdepan. Sebagian besar kunjungan dilakukan dengan meminta izin melewati wilayah Sarawak karena sarana jalan lebih bagus di sana,” katanya.
Meski di Jakarta isu perbatasan menjadi tema untuk mencari popularitas, prajurit TNI tidak memperoleh apa yang menjadi haknya. Ketika ditanya tentang tunjangan perbatasan yang dijanjikan bagi prajurit, Trisaktiyono mengaku dia dan para prajurit belum menerima sama sekali.
Panglima Kodam XII Tanjung Pura Mayor Jenderal Moeldoko yang ditemui di Pontianak mengaku hingga hari ini tunjangan perbatasan belum diterima. Padahal, harga kebutuhan mahal.
Sumber: KOMPAS
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment