JAKARTA--MICOM: Kondisi keamanan laut Indonesia saat ini masih rawan. Hal ini terlihat karena masih banyak terjadi kasus pelanggaran di wilayah perairan Indonesia baik oleh satuan operasi, aparat kelautan negara tetangga, maupun kapal asing.
TNI Angkatan Laut mencatat, hingga bulan September terjadi sebanyak 13 kali pelanggaran oleh kapal perang, polisi, heli atau pesawat udara Malaysia. Selain itu, terjadi jug apelanggaran oleh kapal ikan asing sebanyak 41 kali.
Demikian disampaikan Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Madya TNI Soeparno melalui Wakil Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Muda TNI Marsetio pada konferensi pers persiapan Seminar TNI AL tahun 2010, Selasa (12/10). Seminar tersebut akan digelar, Rabu (13/10).
"Persoalan ini tidak lepas dari potensi laut yang dimiliki Indonesia. Disamping itu, posisi Indonesia yang sangat strategis menjadi daya tarik tersendiri bagi kekuatan asing untuk memanfaatkan laut kita secara ilegal," tuturnya.
Marsetio menambahkan, dari 13 kali pelanggaran yang dilakukan Malaysia, terutama terjadi di Blok Ambalat yang selama ini diklaim Malaysia. "Pelangaran terutama di titik blok minyak Ambalat. Kita menganggap punya kita, mereka menganggap blok Ambalat punya mereka. Sampai saat ini kita sedang tahap perundingan dengan Malaysia," ujarnya.
Ia menegaskan, kondisi tersebut tidak dapat dibiarkan terus berlangsung. Karena menyangkut tegak atau tidaknya kedaulatan Indonesia. Indonesia, jelasnya, berpijak pada hukum laut internasional UNCLOS 1982 yang telah diratifikasi dengan undang-undang nomor 17 tahun 1985.
"Bagi Indonesia UNCLOS mengatur dua hal pokok, yaitu kewilayahan dan fungsi-fungsi kelautan serta hak pemanfaatan atas sumberdaya yang terkandung di dalamnya."
Namun pada implementasinya, produk hukum yang ada masih mengutamakan kepentingan sektoral and tumpang tindih, sehingga pelanggaran di laut masih tinggi. "Masih ada yang belum terselesaikan dengan baik, seperti masalah perbatasan dengan negara tetangga," imbuh dia.
Selain masalah aturan hukum, keterbatasan anggaran juga menjadi pengganjal bagi TNI AL dalam mengamankan wilayah laut. Dengan cakupan laut yang begitu luas, menurut dia, diperlukan manajemen penanganan yang baik, sarana dan prasarana yang memadai serta kemampuan personel yang prodesional. Apalagi, sesuai konvensi hukum laut internasional yang memiliki hak pengejaran seketika terhadap kapal yang diduga melanggar hukum di wilayah Indonesia, adalah Angkatan Laut.
"Hak pengejaran saat ini menjadi kurang efektif bila kemampuan kapal perang atau kemampuan TNI AL belum memadai," keluhnya.
Masalah lain di wilayah laut, sambung dia, adalah aspek fungsi kelautan dan pemanfaatan sumber daya yang sebagian besar belum diundangkan. Realitasnya, pemanfaatan sumber daya laut Indonesia ternyata masih jauh di bawah kemampuan daya dukung laut, artinya potensi yang dimiliki belum dimanfaatkan secara optima.
Sebagai contoh, Indonesia yang memiliki panjang pantai 81.900 km laut hanya berkontribusi terhadap gross domestic bruto (GDP) sebesar 20,6% atau $18,9 miliar.
Angka ini jauh jika dibandingkan Korea yang memiliki pantai 2.713 km, dapat berkontribusi 37% dan Jepang mampu berkontribusi 54% dari panjang pantai 34.386 km. "Dari angka-angka itu terlihat bahwa sesungguhnya masih sangat banyakyang dapat kita lakukan pada wilayah laut kita guna menyejahterakan rakyat Indonesia."
Karena itulah, TNI AL menilai perlu dilakukan pengkajian kembali sejauhmana pemanfaatan Unclos 1982 selama ini. "Agar dapat diketahui strategi pembangunan kelautan masa depan dan upaya pemenuhannya," tukasnya.
Sumber: MEDIA INDONESIA
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment