Jakarta, Kompas - Penjagaan pertahanan wilayah laut tidak bisa hanya mengandalkan TNI Angkatan Laut. Wilayah laut yang sangat luas disertai dengan kondisi geopolitik, sedangkan sumber daya TNI AL sangat terbatas.
Demikian benang merah dalam seminar TNI AL ”Implementasi UNCLOS 1982 dalam Rangka Menegakkan Kedaulatan, Menjaga Keutuhan Wilayah, dan Melindungi Keselamatan Bangsa”, Rabu (13/10).
Andi Widjajanto, pengamat militer dari UI, menjelaskan, negara seperti China, India, Australia, dan AS memperkuat armada lautnya. Ciri negara yang kuat adalah akan menutup wilayah lautnya. Sementara United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 belum diratifikasi negara-negara besar seperti AS. ”AS sudah punya pola mobilitas yang tidak peduli UNCLOS. Mereka anggap itu adalah kebiasaan. Jadi, saat harus buka, mereka akan buka,” katanya.
Menurut Andi, perang saat ini disebabkan ketimpangan kemampuan sebuah negara. Minimnya kekuatan militer Indonesia dibandingkan negara-negara tetangga membuat banyak gangguan terhadap Indonesia. Karena itu, TNI AL perlu mendefinisikan apa yang ingin diperbuat dengan adanya UNCLOS sebagai dasar legal. Realistisnya, hingga tahun 2024, TNI AL mampu menutup atau mempertahankan seluruh wilayah perairan Nusantara.
Hasyim Djalal, pengamat hukum laut internasional, prihatin dengan kondisi alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang tidak memadai. ”Saya sedih, bagaimana membangun kekuatan kita. Ini alutsista TNI AL, 41 persen berusia 25-50 tahun, 5 persen di atas 50 tahun. Tingkat kesiapan juga hanya berlayar, tidak siap tempur,” katanya.
Menurut Wakil Kepala Staf TNI AL Laksamana Muda Marsetio, dibutuhkan peran semua pemangku kepentingan untuk menjaga laut. Hingga saat ini TNI tetap mampu menjaga laut.
Pengamat militer Edy Prasetyono menyoroti belum tuntasnya Indonesia melaksanakan UNCLOS. Indonesia harus bisa mengembangkan kekuatan lautnya untuk bisa mengontrol alur laut kepulauan Indonesia, misalnya.
Sumber: KOMPAS
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment