JAKARTA - Lemahnya koordinasi antarbadan intelijen masih memprihatinkan. Hampir semua intitusi hukum dan keamanan memiliki unit tilik sandi itu. Namun, mereka bekerja tidak terpadu sehingga tak efektif. Dalam pembahasan draf RUU Intelijen di DPR, akan dimasukkan skema penunjukan Badan Intelijen Negara (BIN) sebagai koordinator.
"BIN perlu payung hukum untuk mengoordinasi jajaran intelijen yang lain. Sebab, masing-masing badan sekarang ini mempunyai undang-undang tersendiri," kata Ketua Fraksi PDIP di DPR Tjahjo Kumolo di Jakarta kemarin (27/10).
BIN merupakan lembaga di bawah kepresidenan yang bertujuan memberikan info langsung ke presiden. Selain itu, TNI, Polri, kejaksaan, serta intansi seperti bea cukai dan imigrasi mempunyai lembaga serupa. Bahkan, lembaga tersebut mempunyai jaringan di setiap kantor perwakilan di daerah.
Menjalankan skema BIN sebagai koordinator, tegas Tjahjo, tidak cukup hanya dengan keppres. Diperlukan undang-undang yang lebih kuat. Menurut dia, kendala terbesar intelijen di Indonesia ini adalah lemahnya jaringan koordinasi. "Koordinasi intelijen yang dilakukan BIN dan poswil BIN di daerah sangat penting," tegasnya.
Berbagai institusi intelijen yang kini melekat di sejumlah kementerian diharapkan legawa menerima BIN sebagai koordinator. "Egoisme sektoral intelijen harus dihilangkan," ujar anggota Komisi I?DPR yang juga Sekjen DPP PDIP itu.
Tjahjo menyebutkan, pengolahan dan analisis data intelijen ke depan harus berjalan lebih sistematis. Dengan demikian, penyajian informasi kepada presiden sebagai user bisa lebih akurat dan potensi kecolongan bisa ditekan.
Dia menambahkan, Komisi I DPR sedang menginventaris masalah dan menggali pendapat dari berbagai pihak. Semua itu merupakan bagian dari pengayaan materi RUU Intelijen yang masuk prioritas untuk dibahas pada 2010 ini. "Ancaman semakin kompleks, baik dari dalam negeri maupun luar negeri," ingat Tjahjo.
Direktur Program Imparsial Al Araf menentang usul tersebut. Menurut dia, harus bisa dipisahkan antara lembaga yang mengerjakan fungsi serta tugas operasional dan lembaga yang melakukan koordinasi. Sebagai bagian dari institusi intelijen, BIN memiliki fungsi dan tugas operasional. "Biarkan BIN menjalankan fungsi dan tugasnya dengan baik, tidak perlu melakukan kerja koordinasi," ungkap alumnus HMI dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya itu.
Dia menambahkan, BIN juga bukan institusi intelijen yang menjadi bagian dari sistem penegakan hukum (non-judicial system). Bila diposisikan sebagai koordinator, BIN akan menghadapi kesulitan untuk mengoordinasi intelijen di sejumlah institusi penegak hukum. Misalnya, intelijen kejaksaan dan intelijen kepolisian.
Selain itu, lanjut dia, kalau memang ingin melakukan reformasi intelijen, BIN seharusnya berada di bawah salah satu departemen. Artinya, BIN juga kurang pantas untuk punya fungsi koordinasi. "Yang dibutuhkan pemerintah itu suatu lembaga koordinasi intelijen yang bersifat permanen seperti di Inggris, Amerika, dan Australia," tegas Al Araf.
Dia mengingatkan bahwa masih terdapat intelijen lain di Indonesia. Di antaranya, Badan Intelijen Strategis (Bais), intelijen militer yang melekat di komando teritorial, intelijen bea cukai, dan intelijen imigrasi.
Dia meyatakan bahwa RUU Intelijen bias kepentingan BIN. Ada upaya untuk memperkuat positioning dan kewenangan BIN. "Sekitar 70 persen pasal di dalamnya berbicara tentang BIN," tegasnya.
Sumber: JPNN
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment