SURABAYA, KOMPAS.com - Desain strategi serta postur pertahanan dan keamanan Indonesia saat ini dianggap tidak jelas.
Meskipun kebutuhan pertahanan minimal sudah digagas, postur pertahanan Indonesia sudah sangat ketinggalan. Sementara itu, revitalisasi industri strategis Indonesia masih mencoba mencari arah.
Hal ini terungkap dalam diskusi bertajuk Revitalisasi Industri Strategis Indonesia di Sasana Diskusi Ruang Cakra Gedung C FISIP Universitas Airlangga, Jumat (29/10/2010).
Hadir sebagai narasumber dalam diskusi yang diikuti dosen dan mahasiswa, pengajar jurusan Matematika Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Subchan, dan peneliti Centre for Strategic and Global Studies (CSGS) Departemen Hubungan Internasional FISIP Unair, Djoko Sulistyo.
Setelah reformasi, kata Djoko, banyak slogan yang dikeluarkan pemimpin Indonesia. Terakhir, dalam pidato kenegaraan di depan DPR dan DPD pada 16 Agustus, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, akan menempuh politik luar negeri ke segala arah.
Dengan demikian, Indonesia akan mempunyai sejuta kawan, tanpa musuh (a million friends, zero enemy ). "Kalau paradigma itu yang dikembangkan, postur pertahanan tidak menjadi prioritas dan tidak perlu ada industri pertahanan yang menjadi pendukung," tutur Djoko Sulistyo.
Namun, lanjut Direktur Riset CSGS Joko Susanto, slogan ini sangat bertentangan dengan Rancangan Undang-Undang tentang Revitalisasi Industri Strategis Pertahanan dan Keamanan.
Sebab, dalam RUU yang mulai dibahas di Kementerian Hukum dan HAM, industri strategis lebih pada produksi alat-alat perang. Ini seakan-akan Indonesia akan perang dalam lima tahun ke depan.
Industri strategis yang bermanfaat untuk masyarakat dan negara seperti pengembangan sarana transportasi massal, teknologi informasi, atau teknologi nano malah tidak mendapat tempat dalam pembahasan RUU itu.
Padahal, berbagai industri strategis seperti itu akan membuat Indonesia berdaya saing dan mandiri.
Kenyataannya, menurut Subchan, industri pertahanan Indonesia saat ini ketinggalan jauh dari negara lain kendati sebelum reformasi sempat disegani di Asia. Subchan pernah menerima penghargaan di bidang teknologi persenjataan tanpa awak dari Kementerian Pertahanan Inggris Raya.
Menurut Subchan, pada 1990-an, Indonesia memiliki PT Inka, PT PAL, PT Dirgantara Indonesia, dan PT Pindad. Kini, perusahaan-perusahaan ini sulit berkembang karena tidak ada perhatian dari pemerintah. Dari anggaran untuk kekuatan minimum esensial yang memerlukan Rp 11 triliun, hanya dialokasikan Rp 2 triliun.
Para pimpinan juga lebih senang mengadakan alat utama sistem persenjataan dari luar negeri. Pertama, makelar akan mendapat untung. Selain itu, membeli dari luar negeri artinya membuka kesempatan untuk berjalan-jalan dan mendapatkan uang dinas.
"Ada juga kendala ketidakmampuan bekerja bersinergi. Para ahli mencari proyek sendiri-sendiri. Padahal, bila kemampuan pakar di Indonesia dipetakan dan semua disinergikan, bukan tidak mungkin ada kemandirian dalam industri pertahanan keamanan," katanya.
Untuk mengefektifkan pelaksanaan dan pengembangan industri pertahanan, dibentuk Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP).
Peraturan Presiden tentang KKIP sudah disetujui 12 Juli 2010 meskipun dirasa kurang sempurna karena belum melibatkan Kementerian Pendidikan Nasional sebagai yang menangani pendidikan sumber daya manusia.
Kini, diharapkan RUU Revitalisasi Industri Strategis lebih luas, bermanfaat, dan mampu meningkatkan daya saing Indonesia.
Sumber: KOMPAS
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment