Jakarta (ANTARA) - Dampak militerisme Jepang di kawasan Asia Pasifik akan dibahas dalam sebuah seminar yang diselenggarakan Global Future Institute pada 25 Oktober di Jakarta.
Menurut keterangan pers Global Future Institute (GFI) di Jakarta, Sabtu, aksi penjajahan Jepang di Indonesia selama tiga setengah tahun, pada 1942-1945, memberikan dampak yang begitu besar, terutama dalam hal kekerasan terhadap masyarakat sipil.
Kekerasan seperti perbudakan seks (jugun lanfu) dan kerja paksa (romusha) merupakan beberapa kasus yang sangat memilukan dan membekas bagi masyarakat Indonesia.
Seminar yang bertema "65 Tahun Kapitulasi Jepang Dalam Perang Asia Pasifik: `Comfort Women, Romusha, dan Sejarah Kelam Militerisme Jepang di Asia Pasifik`", berupaya mengkritisi aksi Jepang pada masa lalu dan prospek dari dampak yang berkembang saat ini.
Pada seminar itu akan dibeberkan fakta pada masa lalu dan penyelesaian penggantian pampasan perang oleh Jepang.
Selain itu, seminar ini juga akan membahas perkembangan militerisme Jepang saat ini yang meningkat sehingga diduga memanaskan konstelasi politik di Asia Pasifik.
Menurut keterangan, peningkatan militerisme Jepang saat ini juga diduga dipicu oleh modernisasi kekuatan militer China yang membuat AS sebagai sekutu Jepang di Asia mendesak Angkatan Bersenjata Jepang untuk mengimbangi penguatan militer China.
Seminar itu akan menghadirkan beberapa ahli sebagai pembicara, antara lain, Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri RI, TM Hamzah Thayeb, wartawan Algemeen Dagblad, Hilde Janssen serta pejabat dari Ditjen Rehabilitasi Lanjut Usia Departemen Sosial.
Berkepentingan
GFI memandang Indonesia sebagai salah satu negara di kawasan Asia Pasifik yang sangat berkepentingan untuk mengingatkan kembali sepak-terjang militer Jepang maupun serangkaian tindak kejahatan perang yang dilakukan dalam kurun waktu antara 1942-1945.
Indonesia bukan satu-satunya negara di kawasan Asia Pasifik yang menderita sebagai korban dari militerisme dan kejahatan perang Jepang. Beberapa negara di kawasan Asia Tenggara lainnya, seperti Malaysia, Singapore, Filipina, Myanmar (Birma) dan Korea Selatan juga mengalami nasib yang sama.
GFI didirikan pada tanggal 11 oktober 2007. GFI berdiri atas prakarsa lima orang anggota pendiri: Hendrajit, Harri Samputra Agus, Adriyanto, Joko Wiyono, dan Hamzah Fansyuri.
Gagasan yang melatarbelakangi berdirinya GFI adalah karena saat ini dirasa perlu untuk memberdayakan politik luar negeri Indonesia di tengah-tengah semakin menajamnya persaingan berskala global di antara Negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat, Republik Rakyat Cina, Uni Eropa, dan Rusia.
Sebagai Negara yang sejak awal kemerdekaan menganut politik luar negeri yang bebas dan aktif, GFI beranggapan sudah selayaknya bagi Indonesia untuk mampu mengantisipasi perubahan-perubahan global di kemudian hari. Maka, GFI bertekad melalui program dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan, menciptakan suatu situasi yang kondusif agar politik luar negeri Indonesia bisa ikut mempengaruhi perkembangan pada skala global dengan memobilisasi seluruh sumber daya nasional yang kita miliki.
Sumber: YAHOO
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment