Jakarta, Kompas - Orientasi pembangunan yang lebih bertumpu pada daratan dinilai telah mengingkari eksistensi dan kondisi obyektif Indonesia sebagai negara kepulauan. Hal itu pula yang mengakibatkan maritim Indonesia, yang pernah jaya semasa Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, kini kondisinya malah terpuruk.
Dibutuhkan reorientasi pembangunan serta kemauan politik pemerintah dan segenap elemen bangsa untuk mengembalikan kejayaan maritim. Pilihan reorientasi itu juga diyakini dapat mempercepat pencapaian kesejahteraan rakyat.
Demikian mengemuka dalam seminar nasional bertajuk ”Membangun Negara Maritim dalam Perspektif Ekonomi, Sosial Budaya, Politik, dan Pertahanan”, Kamis (7/10) di Jakarta.
Seminar yang digelar Indonesia Maritime Institute itu menghadirkan pembicara kunci Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Madya Soeparno. Pembicara lainnya adalah mantan KSAL Laksamana (Purn) Bernard Kent Sondakh; pakar hukum laut internasional Dimyati Hartono; pengamat pertahanan dari Universitas Indonesia, Connie Rahakundini Bakrie; pakar kelautan dari Universitas Diponegoro, Sahala Hutabarat; dan Ketua Fraksi Partai Demokrat Moh Jafar Hafsah.
”Meskipun pemerintah telah menerbitkan berbagai kebijakan yang terkait dengan pembangunan sektor maritim, hal ini ternyata belum mampu mendorong percepatan pembangunan di sektor tersebut,” kata Soeparno. Masukan dari berbagai pihak, menurut dia, perlu untuk membangun kembali kejayaan maritim Indonesia.
Dari Presiden
Menurut Bernard, yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah kesadaran dan kesungguhan berbagai pihak, mulai dari Presiden, gubernur, bupati, hingga masyarakat, dalam membangun maritim.
Dimyati mengkritik pola berpikir pemerintah yang masih menyebut Indonesia sebagai negara agraris. Padahal, kondisi obyektif bangsa Indonesia adalah negara kepulauan.
Pola pikir negara agraris tersebut, menurut dia, merupakan warisan kolonial Belanda yang sengaja membuat kebijakan tanam paksa untuk meningkatkan hasil pertanian agar kemudian mereka bisa memonopoli perdagangannya. ”Langkah yang perlu dilakukan adalah kesamaan tekad dan mengubah pola pikir bangsa dalam membangun maritim,” katanya.
Dalam perspektif pertahanan, Connie menyayangkan minimnya anggaran pertahanan, termasuk untuk membangun armada laut dan udara yang kuat. ”Indonesia demikian luas, tetapi anggaran pertahanannya sangat kecil. Kalau anggaran pertahanan dinaikkan, muncul anggapan militer hendak kembali ke politik. Anggapan seperti itu keliru,” katanya.
”Kalau mau membangun pertahanan maritim, tambah armada laut dan udaranya, bukan menambah personel,” ucapnya.
Sementara Sahala menyatakan, pembangunan berbasis maritim perlu dilakukan karena secara fisik, laut merupakan faktor dominan di Indonesia dengan potensi ekonomi yang sangat besar dan beragam. ”Saatnya Indonesia harus menentukan kebijakan maritim secara tegas,” katanya.
Sumber: KOMPAS
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment