Sejak Orde Baru, persoalan kawasan perbatasan ibarat demam. Banyak upaya ditempuh saat suhu tubuh meninggi, tapi saat suhu normal, kita lupa merawat dan menjaganya.
Anggapan bahwa situasi regional di sekitar Indonesia dalam dua-tiga dekade ke depan tetap aman dan damai, ternyata tidak selamanya benar. Masih ada benih-benih konflik yang dapat berkembang menjadi sengketa.
Ketika dunia menyoroti penebangan liar dan penyelundupan di kawasan perbatasan pada masa Presiden Soeharto, pemerintah menjawab dengan berbagai program pembangunan kawasan perbatasan. Salah satunya adalah kajian ”kawasan berikat” (Tarakan-Nunukan-Sebatik) untuk ”menandingi” kemajuan pembangunan di Tawau, Sabah, Malaysia Timur. Namun, kajian yang dianggap sangat tepat di Bappenas itu tidak mendapat dukungan politik sehingga sampai kini tidak ada realisasinya.
Demikian juga dengan ide pembentukan badan otoritas pada masa Presiden BJ Habibie. Badan otoritas yang bertanggung jawab membangun kawasan perbatasan dengan potensi ekonomi besar itu lagi-lagi berhenti pada tingkat wacana. Muncullah warisan konflik Indonesia-Malaysia.
Pendeknya, saat situasi memanas, pemerintah, DPR, dan media membahas serius dari diplomasi bilateral hingga kemungkinan perang terbuka. Namun, ketika sengketa ”mereda”, wacana pun turut senyap. Persoalan perbatasan hanya menjadi wacana yang reaktif dan fluktuatif.
Rawan konflik
Dalam penataan sistem keamanan perbatasan dengan negara tetangga, faktor penting yang perlu dicermati adalah letak geografi Indonesia yang strategis, tapi rawan konflik. Di laut, Indonesia berbatasan dengan 10 negara (India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Niugini/PNG, Australia, dan Timor Lorosae). Di darat berbatasan dengan tiga negara (Malaysia, PNG, dan Timor Lorosae).
Melalui Permenhan Nomor 10 Tahun 2010 ditetapkan 12 pulau kecil terdepan, antara lain pulau Rondo, Berhala, Nipa, Dana Rote, Fani, Fanildo, Sekatung, Miangas, Marore, Marampit Batek, dan Bras. Untuk perbatasan di laut, total pemerintah telah menginventarisasi 92 pulau kecil dan 12 pulau dijaga prajurit TNI.
Namun, persoalan kawasan perbatasan akan terus mengancam, termasuk di dalamnya ketidaksepahaman garis batas wilayah antarnegara yang banyak belum diselesaikan melalui perundingan bilateral.
Kendati Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) telah dibentuk, program-program yang dirancang belum sepenuhnya ditujukan untuk kegiatan menghambat aksesibilitas (darat, udara, dan laut/perairan) pihak asing, termasuk penetrasi transportasi dan komunikasi.
Terlepas dari ada 13 institusi yang terlibat mengamankan wilayah laut—termasuk TNI—beberapa kelemahan yang melekat memang masih berlaku mulai dari minimnya teknologi persenjataan dan komunikasi, kurangnya pembangunan infrastruktur yang terintegratif, dan lemahnya sumber daya manusia. Namun, yang paling mengemuka adalah persoalan koordinasi dan pembiayaan tinggi.
Kementerian Dalam Negeri yang mengepalai BNPP baru akan memperoleh pagu pengelolaan perbatasan untuk tahun anggaran 2011 sebesar Rp 700 miliar. Anggaran ini meningkat pesat dibanding anggaran tahun 2010 sebesar Rp 25 miliar.
Susahnya, setiap tindakan negara meningkatkan keamanan, seperti akumulasi senjata dan posisi pasukan militer, sering dicurigai oleh negara lain dan memunculkan reaksi keras.
Kompleksitas perbatasan
Kompleksitas persoalan perbatasan juga dipicu oleh adanya komunitas etnis di kedua sisi perbatasan sehingga menciptakan konflik pelintas batas, masyarakat bersenjata, dan kelompok ”pemberontak”. Kenyataannya, pendekatan yang meletakkan kerja sama antarnegara dan antarmasyarakat perbatasan untuk membangun manajemen keamanan perbatasan bersama masih sulit dilakukan karena berkaitan dengan kepentingan politik kedua negara.
Kedua, persoalan khusus yang ditangani hari ini merupakan warisan konflik masa lalu, kasus Indonesia-Malaysia di antaranya. Karena itu, dalam batas tertentu, persengketaan ini dapat dikaitkan dengan ketidakmampuan setiap negara mengatur batas-batas wilayah mereka.
Mengingat kegagalan pendekatan yang menganggap perbatasan sebagai tanggung jawab masing-masing negara untuk memberikan keamanan yang memadai bagi masyarakat, negara, dan wilayahnya, maka kita perlu mempertanyakan apakah pendekatan regional dapat memberikan penyelesaian keamanan yang berkelanjutan?
Keamanan merupakan barang publik (public goods) karena jenis nilai yang konsekuen diberlakukan dalam meningkatkan kerja sama di antara negara-negara, yaitu dengan memberikan manfaat bagi semua aktor yang terlibat. Karena itu, ”barang publik” memiliki logika yang dinikmati oleh banyak orang dan memberikan manfaat. Dalam persoalan Indonesia-Malaysia misalnya, barang publik dapat meliputi laut dan keamanan.
Dalam konteks ini, Amerika mungkin dapat dijadikan contoh dalam mengatasi keamanan negara, regional, dan masyarakatnya melalui ”regionalisasi” pengelolaan keamanan perbatasan. Kita juga bisa melihat negara-negara di Afrika, yaitu Angola, Tanzania, dan Zambia menjadi penandatangan protokol The Southern African Development Community (SADC) pada kontrol senjata api, amunisi, dan bahan terkait lain di wilayah SADC.
Di lingkaran Afrika Tengah, Komunitas Ekonomi Negara-negara Afrika Tengah (Economic Community of Central African States) mendirikan the Council for Peace and Security in Central Africa, yang merupakan mekanisme subregional untuk mempromosikan perdamaian dan keamanan.
Pertanyaan inti untuk konteks Indonesia dan negara-negara tetangga saat ini adalah, apa syarat untuk pengelolaan perbatasan antarnegara? Antarkomunitas di perbatasan? Kerja sama lintasoperasi untuk meningkatkan keamanan perbatasan? Apakah kerangka antarnegara kondusif untuk merealisasikan manajemen keamanan perbatasan dalam mempromosikan stabilitas kawasan dan pembangunan? Apa kapasitas aset yang dibutuhkan untuk ini? Bagaimana peran ASEAN dan mekanisme dalam merealisasikan ASEAN Security Community dalam menjawab tantangan keamanan kawasan dan antarnegara?
Selain itu, kita dapat memanfaatkan Pasal 43 UNCLOS 1982 yang dikenal sebagai Pasal Patungan Beban (Burden Sharing Article) yang tak kunjung diimplementasikan dengan baik sejak berlakunya konvensi tersebut pada 1994. Padahal, banyak keuntungan bisa dipetik jika pasal tersebut bisa terimplementasi dengan baik. Ini antara lain karena pasal tersebut mengatur agar beban yang ada dalam upaya mewujudkan keselamatan, keamanan, dan perlindungan di wilayah maritim ditanggung bersama oleh negara-negara yang berbatasan. Karena itu, inilah jalan keluar menyelesaikan konflik sekaligus jawaban akan keterbatasan anggaran negara dalam pengelolaan kawasan perbatasan.
Sumber: KOMPAS
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment