Jakarta, Kompas - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme tengah merumuskan kebijakan terkait penggunaan kekuatan Tentara Nasional Indonesia untuk menangani teror dan kerusuhan. Di sisi lain, TNI juga tengah menata kembali perannya untuk melakukan deteksi dini terhadap dinamika di masyarakat, termasuk yang terkait dengan teror dan kerusuhan.
”(Kebijakan) itu masih dirumuskan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Mudah-mudahan dalam waktu dekat kita punya pegangan yang kuat untuk mengerahkan dan menggunakan kemampuan TNI ikut menjaga keselamatan bangsa dan negara,” kata Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono di Jakarta, Minggu (3/10).
Menurut Agus, TNI tengah menata kembali aparat kewilayahannya agar mampu melaksanakan deteksi dini atas informasi yang berkembang di masyarakat, khususnya terkait teror dan kerusuhan. ”Pada strata kecamatan dan kabupaten/kota, kita memiliki mekanisme bagaimana TNI bisa ikut terlibat di dalam masalah penanggulangan permasalahan kerusuhan ini,” katanya.
Mantan Asisten Kepala Sosial Politik TNI Mayor Jenderal (Purn) Suwarno Adiwijoyo menuturkan, aksi teror yang saat ini berkembang menjadi perlawanan bersenjata penanganannya seharusnya menjadi domain TNI. Karena itu, TNI bukan lagi bisa mengerahkan kekuatannya jika diminta Polri, melainkan wajib mengerahkan kekuatan untuk menumpas aksi teror itu.
”Jika teror masih sebatas kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime, itu masih jadi domain polisi. Tetapi, jika teror itu sudah sampai menyerang polisi dan menjadi peperangan bersenjata, itu domain TNI. TNI tidak boleh tinggal diam,” katanya.
Penanganan teror yang sudah berujung pada penyerangan dan peperangan itu, lanjut Suwarno, bisa dilakukan dengan dua bentuk operasi militer, baik operasi nonkombat yang dijalankan intelijen maupun operasi kombat atau peperangan. Untuk operasi nonkombat, TNI bisa menjalankan fungsi intelijennya guna mendeteksi potensi teror di masyarakat, memperkuat masyarakat dalam menangkal teror, serta melakukan penggembosan terhadap kekuatan teror itu.
Kelemahan UU
Secara terpisah, Kepala BNPT Ansyaad Mbai mengakui, ketentuan mengenai perbuatan awal yang mengarah pada terorisme perlu diatur dalam undang-undang tentang penanggulangan terorisme. Ia mengusulkan UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme direvisi.
Menurut Ansyaad, ada dua kelemahan besar dalam UU Antiterorisme itu. Pertama, UU itu tak mengatur latihan militer adalah kejahatan atau tindak pidana. Sebagai perbandingan, di Inggris, pelatihan militer adalah kejahatan dan bisa diancam dengan hukuman penjara selama tujuh tahun tanpa remisi.
Kedua, lanjut Ansyaad, adalah UU Antiterorisme tak mengatur perbuatan awal, seperti menebar kebencian dan permusuhan kepada agama lain, negara lain, atau pihak lain, yang mengarah pada terorisme. Padahal, perbuatan awal itu adalah cara efektif bagi kelompok teroris untuk membangun kekuatan.
Sumber: KOMPAS
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment