Percobaan pesawat Hercules milik TNI AU mendarat di Lanud Pitu, Morotai, lepas maghrib, Selasa (3/8), menunjukkan bahwa bandara itu siap untuk aktivitas ekonomi yang berkesinambungan.
Edna C Pattisina
Waktu baru menunjukkan pukul 18.42 WIT. Seluruh badan pesawat Hercules tipe Cargo-130 B bernomor sayap A 1313 bergetar keras. Lepas dari Bandara Sultan Babullah, Ternate, Maluku Tengah, Hercules milik TNI AU kini mendarat di Pangkalan Udara Pitu, Morotai, Maluku Utara.
Misi yang dipimpin instruktur pilot Mayor (Pnb) Kusmayadi dari Skuadron 32 ini relatif sederhana: mendarat lalu terbang malam ke dan dari Morotai di tepi Lautan Pasifik itu.
Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Erris Herryanto mengakui, dari segi teknis, tidak ada yang krusial dengan pendaratan malam. Namun, pendaratan ini lebih untuk menyampaikan ”pesan” bahwa pertahanan digunakan untuk mendukung ekonomi. Menurut Erris, pengembangan wilayah perbatasan menjadi prioritas dari konsep pertahanan untuk ekonomi itu.
Dari segi ekonomi, potensi Morotai memang lebih banyak dimanfaatkan negara-negara tetangga daripada warga Morotai. Padahal, menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Morotai Ismail, potensi perikanan mencapai 61.167 ton per tahun. ”Itu baru bisa diambil maksimal 20 persen,” kata dia.
Bagaimana bisa maksimal jika nelayan Indonesia dengan perahu kecil sejenis ketinting dan sampan berdaya jelajah 3-4 mil itu harus berhadapan dengan kapal ikan besar milik nelayan Filipina, Taiwan, Thailand, dan China yang bisa membawa 20 ton-50 ton sekali angkut. Mereka tidak hanya hadir di laut lepas, tetapi sampai masuk ke batas teritorial 12 mil. Tidak heran kalau cuaca buruk, ada kapal-kapal yang merapat. TNI Angkatan Laut hanya punya pos dengan perahu karet, sementara kepolisian tidak ada sama sekali. ”Kapal-kapal dari luar negeri itu banyak yang bawa senapan, seperti M16,” ujar Komisaris Polisi Ramli, perwira penghubung di Morotai.
Padahal, selain ikan kerapu hitam yang mahal, laut seputar Morotai penuh dengan cakalang dan tuna yang berat per ekornya rata-rata 150 kilogram. Ini belum termasuk mutiaranya. Namun, di tengah lumbung ”emas” itu, para nelayan hanya menangkap untuk keperluan rumah tangga dan dijual di desa saja karena tidak ada pabrik es. Fasilitas ruang pendingin pun hancur gara-gara kerusuhan beberapa waktu silam.
Morotai memang ibarat mutiara yang dibiarkan terbenam di lumpur. Dari segi pertahanan pun, pulau di bibir Samudra Pasifik ini terhitung sangat strategis. Tidak heran, di pulau inilah di bawah komando Panglima Divisi VII AS Jenderal Douglas MacArthur, pada masa Perang Dunia Ke-2, menggalang kekuatan untuk menggempur Jepang. Ada tujuh landasan pacu yang selama beberapa bulan ini menerima pendaratan 63 batalion sejak 15 September 1944.
Saat ini, dari tujuh landasan pacu itu, sudah ada dua yang diperbaiki TNI AU. Dari 3.000 meter panjang landasan, yang telah diperbaiki sepanjang 2.400 meter dengan lebar 30 meter. Komandan Pangkalan Udara Pitu Mayor (Lek) Sadewo menjelaskan, ada pesawat sipil dari Express Air dan Merpati yang kadang-kadang mendarat. ”Tapi, tidak ada jadwalnya,” kata Sadewo.
Erris mengakui, kepentingan militer menjadi alasan nomor dua setelah kepentingan ekonomi. Hal itu tentunya masih berhubungan dengan semakin memanasnya Laut China Selatan saat China semakin mengintensifkan kekuatan AL-nya,
Bupati Pulau Morotai Sukemi Sahab berterima kasih atas uji coba penerbangan malam itu. Ia berharap, hal itu bisa menunjukkan bahwa Morotai memiliki infrastruktur untuk ekspor hasil laut langsung ke luar negeri.
Sumber: KOMPAS
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment