Pernyataan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton pada pertemuan forum masalah keamanan 27 negara, ASEAN Regional Forum, pertengahan Juli lalu, mengenai perlunya penyelesaian segera sengketa wilayah Laut China Selatan, langsung mendapatkan reaksi keras dari Pemerintah China.
Lebih dari itu, Angkatan Laut China pun memperingatkan Amerika Serikat (AS) agar menggeser latihan militer laut dengan Korea Selatan dari Laut Kuning karena dianggap terlalu dekat dengan wilayah kedaulatan China.
Kepala Staf Gabungan AS Admiral Mike Mullen mengatakan, perilaku agresif China atas klaim wilayah di Samudra Pasifik dan Hindia menjadi perhatian AS dan juga India. ”China tampaknya semakin menegaskan dirinya lebih dan lebih kuat terkait dengan klaim wilayah. Mereka tampaknya mengambil pendekatan yang jauh lebih agresif akhir-akhir ini terhadap wilayah-wilayah dekat Laut China Selatan,” ungkapnya.
Sejak ekonomi China berkembang sangat pesat dan kemudian menjadikan negara komunis itu sebagai kekuatan dominan ekonomi dunia, bahkan penggerak utama ekonomi dunia pada saat ini, AS memang sangat khawatir. Kemajuan ekonomi itu akan berimbas juga pada pembangunan kekuatan militer China secara besar-besaran.
Kekhawatiran itu mulai terbukti. China yang dulu berkonsentrasi pada pembangunan pasukan darat kini semakin melebarkan sayap dengan membangun angkatan laut dan angkatan darat secara besar-besaran. Tujuan mereka adalah menjadi kekuatan laut lintas samudra (blue water navy), seperti halnya AS dan Rusia.
Akan tetapi, Admiral Mike Mullen mengungkapkan, pergeseran pembangunan kapabilitas militer China itu penuh dengan ketertutupan sehingga menimbulkan tanda tanya sekaligus kekhawatiran banyak negara.
Sebagai kekuatan ekonomi besar, wajar apabila China berkepentingan ”mengamankan” lalu lintas keluar masuk berbagai kebutuhan dan produk ekonominya. Hal serupa dilakukan AS dan Rusia. Maka, mudah dipahami apabila sebagai ”pendatang baru”, China akan menghadapi penentangan dari mereka yang sudah lebih dulu menguasai berbagai kawasan laut di dunia.
Kekayaan migas
Kawasan Laut China Selatan hingga kawasan laut Nusantara di selatannya merupakan kawasan laut yang sangat vital bagi lalu lintas perdagangan dunia. Oleh karena itu, baik AS maupun China sama-sama berkepentingan atas kawasan laut tersebut.
Bedanya, China telah meratifikasi Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) yang mengakui kedaulatan sebuah negara atas wilayah sejauh 12 mil laut (sekitar 22,2 km) dari garis pantai, termasuk garis pantai dari pulau-pulau yang menjadi bagian negara itu.
UNCLOS juga mengakui zona ekonomi eksklusif (ZEE) suatu negara di kawasan laut sejauh 200 mil laut (sekitar 370 km) dari garis pantai.
Sedangkan AS sampai saat ini belum mengakui UNCLOS itu karena dianggap aturan tersebut akan membatasi ”kebebasan” AS. Oleh karena itu, ketika sebuah kapal militer, yang dikatakan AS sebagai kapal survei kelautan, diusir oleh kapal-kapal China karena dianggap akan ”mencuri” kekayaan laut dan sumber daya di bawahnya, konflik yang terjadi adalah karena titik pandang yang berbeda.
Akan tetapi, AS pun kini memang ”haus” untuk menggali kekayaan sumber daya alam yang berada jauh dari wilayahnya. Tragedi kebocoran minyak mentah di Teluk Meksiko yang menimbulkan pencemaran terbesar sepanjang sejarah negara itu kemudian memunculkan kebijakan moratorium pengeboran minyak laut dalam di sekitar kawasan perairan AS.
Padahal, perusahaan-perusahaan perminyakan besar dunia, yang sebagian besar sahamnya juga dimiliki para pengusaha AS, selalu memerlukan ladang baru untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan pundi-pundi pendapatannya.
Kawasan Laut China Selatan sudah sejak lama diyakini kaya dengan sumber daya minyak dan gas. Menurut sejumlah diplomat, China telah menekan banyak perusahaan asing yang telah membuat kesepakatan dengan Vietnam untuk tidak mengembangkan blok-blok minyak dan gas itu. Akibatnya, pada 2007, seperti ditulis Reuters, raksasa minyak BP Plc menghentikan rencana untuk melakukan eksplorasi di lepas pantai selatan Vietnam karena sengketa wilayah dengan China.
Sengketa terutama menyangkut Kepulauan Spratly dan Paracel yang sama-sama diklaim oleh China, Taiwan, Brunei, Filipina, Malaysia, dan Vietnam.
Sikap tegas China atas kekayaan migas di Laut China Selatan itulah sebenarnya yang membuat AS kini ikut bersuara. Bukan hanya dengan Vietnam, beberapa raksasa minyak dunia juga sudah menjalin kesepakatan dengan Taiwan, tetapi lagi-lagi terbentur klaim China yang menganggap Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya. Kalaulah ada yang mencoba mengabaikan peringatan China itu, negara komunis itu kini telah benar-benar siap untuk ”menghukum” siapa pun dengan armada-armada kapal perangnya yang mutakhir.
Posisi Indonesia
Meski tidak secara langsung terkait dengan sengketa wilayah di Laut China Selatan, kekhawatiran atas dominasi militer dan pengaruh sosial, ekonomi, dan politik China di kawasan ini sesungguhnya menempatkan Indonesia dalam posisi yang kian strategis.
Dengan posisi geografisnya di jalur lalu lintas pelayaran internasional terpenting, jumlah penduduknya serta potensi ekonominya yang besar, profil sosial politiknya yang terbuka dan demokratis, menempatkan Indonesia dalam posisi yang paling memungkinkan untuk mengurangi dominasi China itu.
Pengumuman Menteri Pertahanan AS Robert Gates mengenai dibukanya kembali hubungan militer AS dengan Komando Pasukan Khusus TNI AD (Kopassus) bisa saja diartikan sebagai indikasi AS pun menyadari potensi besar Indonesia itu.
Sayangnya, kalangan pengambil kebijakan di Indonesia seperti kurang menyadari potensi ”posisi tawar” Indonesia terhadap AS itu. Sejumlah kalangan memang masih ”trauma” dengan perlakuan tidak adil AS yang dengan gampang ”menghukum” pemerintah dan militer Indonesia karena masalah di Timor Leste dulu atau Papua. Akan tetapi, hal itu hendaknya tak membuat kita tidak menyadari potensi besar di depan mata.
Di bidang politik luar negeri, Indonesia termasuk yang giat mendorong keterlibatan AS di kawasan ini melalui perluasan peserta forum East Asia Summit (EAS). Latar belakangnya sudah disampaikan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa. Indonesia sangat peduli untuk tetap mempertahankan keseimbangan di kawasan ini.
Kehadiran AS dan Rusia mudah dipahami sebagai kekuatan penyeimbang kekuatan China yang semakin sulit dibendung 16 negara peserta EAS yang ada saat ini.
Pertanyaannya, apa yang diperoleh Indonesia dengan masuknya AS itu? Sejauh mana Indonesia memanfaatkan posisi tawarnya itu untuk mendapatkan ”imbalan” yang besar dari AS bagi kemanfaatan seluruh rakyat Indonesia?
Untuk mengimbangi bangkitnya kekuatan laut China, idealnya kekuatan laut Indonesia pun dibangun menjadi sebuah kekuatan laut yang disegani. Akan tetapi, dengan perkembangan ekonominya yang tidak sangat pesat, sulit untuk menganggarkan pembelian besar-besaran berbagai alat utama sistem persenjataan (alutsista) kekuatan laut RI itu.
Di sisi lain, AS juga tidak menawari bantuan untuk meningkatkan kapabilitas alutsista Angkatan Laut RI itu. Oleh karena itu, Indonesia harus lebih cerdas memanfaatkan konstelasi geopolitik regional pada saat ini.
Sumber: KOMPAS
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment