Selasa (16/11) lalu, tidak ada yang mencolok dari keseharian Jakarta. Setelah pagi-pagi diguyur hujan, siang hari langit tampak cerah. Namun, monitor di stasiun radar Tanjung Kait, Tangerang, mendeteksi ada sebuah titik yang meluncur cepat ke arah Jakarta. Identitasnya tak diketahui. Dari gerakan dan pengindraan, diduga itu pesawat tempur F-18.
Semula ”pesawat gelap” itu berada pada jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I. Indonesia mempunyai tiga jalur ALKI yang mengizinkan kapal dan pesawat asing lewat di dalam rentang lima mil. ALKI I adalah jalur dari selat Sunda, laut Jakarta, Selat Karimata, lalu ke utara masuk Laut China Selatan. ”Pesawat gelap” yang berada di jalur itu tiba-tiba membelok menuju Jakarta. Diperkirakan, dalam lima menit, pesawat itu sudah masuk Jakarta.
Itu berarti, lima menit lagi, berbagai tempat vital Jakarta ada dalam bahaya. Ibu kota negara selalu menjadi incaran pertama dalam serangan militer. Tidak hanya simbol politis, seperti Istana Negara, Gedung DPR/MPR yang bisa jadi sasaran, tetapi pusat perkantoran dan perbelanjaan sepanjang Jalan Sudirman dan MH Thamrin adalah sasaran empuk dengan efek besar.
”Scramble! Scramble!” kode untuk segera terbang membahana di Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Situasi darurat. Semua tegang. Pilot pesawat Sukhoi yang siaga dalam waktu singkat lari ke pesawat dan memacu dua pesawat yang baru dibeli dari Rusia itu meninggalkan landasan. Mereka menuju titik untuk mencegat pesawat itu.
Informasi di radar, memperkirakan ”pesawat gelap” menuju ke arah selatan. Ada beberapa titik vital di kawasan selatan Jakarta. Namun, laporan intelijen memperkirakan, pesawat ini mengincar Stasiun Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) Cibinong. Dalam era elektronik dan informasi ini, penghancuran jalur komunikasi ibarat memotong urat nadi.
Bertemu dengan pesawat gelap itu, pesawat Sukhoi milik TNI Angkatan Udara segera terbang di sisi kiri. Kode internasional digunakan. Jalur komunikasi dibuka. Tidak ada pihak yang ingin memulai insiden. ”This is Indonesia Airforce. You are in Indonesia territory, follow us,” kata pilot TNI AU melalui komunikasi radio.
Sayang, tidak ada respons. Untuk kedua kalinya, teguran itu dilakukan. Tujuannya agar terjadi komunikasi untuk memperjelas situasinya. Untuk bisa menggertak musuh, jumlah atau kekuatan tuan rumah memang harus lebih kuat. Dengan demikian, musuh menjadi gentar dan bersedia dihalau atau dipaksa mendarat. Kalau tidak, perang udara tidak lagi bisa dihindari.
Setelah dua kali ditegur, akhirnya pesawat gelap itu menggoyang-goyangkan sayapnya. Artinya, ia mengerti dan ikut panduan pesawat Indonesia. Setelah dikawal beberapa menit, akhirnya mendaratlah pesawat gelap ini di Lanud Halim Perdana Kusuma. Turun dari kokpit ”pesawat gelap” itu, Komandan Skuadron Udara 11 Sukhoi Letnan Kolonel (Pnb) Tonny Haryono dan Kepala Staf Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) Marsekal Pertama JFP Sitompul. ”Kami jadi bulsit yang baik, disuruh turun langsung ikut,” ungkap Sitompul, berseloroh.
Ini memang latihan. Pada kenyataannya, tentu banyak hal yang menjadi lebih kompleks. Pesawat bulsit alias penimbul situasi juga lebih dari satu, dan menyerang beberapa target pada saat bersamaan. Pernyataan perang juga harus dinyatakan oleh negara penyerang, sebelum serangan dilakukan.
Panglima Kohanudnas Marsekal Muda Eddy Suyanto menjelaskan, latihan yang berjudul ”Tutuka XXXIV 2010” ini bertujuan untuk menguji pertahanan udara di wilayah ibu kota. Karena itu, mulai dari prosedur, peralatan, hingga personel juga dievaluasi. ”Direktur latihan dari Komando Pendidikan dan Latihan Mabes TNI. Kohanudnas jadi pelaksana,” kata mantan pilot pesawat tempur F-5 ini.
Menjaga wilayah udara kita tidaklah sekadar mengandalkan pesawat tempur belaka. Karena itu, dalam latihan ini juga melibatkan TNI Angkatan Darat dari Detasemen Rudal 003 dan Batalyon Artileri Pertahanan Udara 10, serta kapal perang KRI Abdul Halim Perdana Kusuma yang dilengkapi anti-serangan udara, berupa peluru kendali permukaan ke udara, Harpoon yang berpandu inframerah dengan jangkauan efektif empat kilometer. KRI bernomor lambung 335 juga dilengkapi dengan radar LW-03 2-D air search.
Di Cibinong disiapkan pertahanan udara pasif, yang juga melibatkan masyarakat dan aparat setempat. Dibuat skenario, seandaianya instalasi vital di SKSD Cibinong diserang, bagaimana dengan evakuasi dan penanganan korban.
Eddy Suyanto mengatakan, tujuan dilakukannya latihan di Jakarta memang untuk mempersiapkan kalau ada serangan.
Sumber: KOMPAS
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment