Seiring dengan berjalannya waktu, pesan ini tidak bisa diabaikan. Walau mungkin tidak akan sepenuhnya benar, sikap berjaga-jaga dan penyusunan strategi adalah sebuah keharusan dalam konteks geopolitik terkini di Asia.
China tidak lagi semata-mata sebagai negara yang maju secara ekonomi, kedua terbesar setelah AS. Sejarah seperti terulang. Kebangkitan ekonomi pernah membuat Jerman dan Jepang menjadi kekuatan militer. Sejarah itu berpihak kepada China dengan kebangkitan ekonomi, yang sekaligus memperlihatkan kebangkitan militer.
Secara verbal, Presiden Hu Jintao dan Perdana Menteri Wen Jiabao selalu menegaskan, China tidak akan menjadi ancaman, tetapi kekuatan damai.
Wang Yuzhu, pengamat masalah internasional di Beijing, juga menegaskan hal itu, seperti dikutip di situs The Australian edisi 27 November. Dia adalah Direktur Kerja Sama Regional di Chinese Academy of Social Sciences, Beijing.
Wang mengatakan, ”China telah disalah mengerti oleh beberapa negara lain dan sebaliknya telah salah pengertian pada semua negara itu.” Dia menegaskan bahwa pemimpin di Asia Timur adalah AS.
Tak semua negara terlena dengan ucapan itu. Akio Kawato, pengamat geopolitik dan Profesor Universitas Waseda, Jepang, sudah memberi pesan seperti itu. Jepang telah merombak sistem pertahanan secara perlahan-lahan dari sekadar berstatus sebagai pasukan bela diri.
Seorang pengamat geopolitik Australia, Hugh White, menulis di Quarterly Essay sebuah artikel berjudul ”Perubahan Kekuatan: Masa Depan Australia antara Washington dan Beijing”, mengantisipasi kebangkitan China dengan status superpower, karena itu Australia harus mulai berpikir ulang tentang posisinya di dunia”.
ASEAN paham
Secara implisit, ASEAN pun tampaknya paham dengan semua itu. Kawasan ini telah merangkul India, Australia, AS, Rusia, dan tentu China. Tujuannya tentu agar ASEAN tidak menjadi subordinat dari salah satu superpower.
Tindakan ASEAN ini bukan sekadar basa-basi. Sejumlah negara di ASEAN sudah merasakan sinyal bahaya dengan kebangkitan ekonomi China dan juga kebangkitan militernya. Tentara Vietnam dan Filipina sudah sering berhadap-hadapan dengan tentara China menyangkut sengketa wilayah Spratly.
Faktor terbaru yang mengukuhkan itu adalah konflik yang makin membuat suasana genting antara Korea Utara dan Korea Selatan. Ketegangan ini bukan ketegangan an-sich di antara kedua Korea.
Tak akan sulit bagi Korsel meluluhlantakkan Korut, yang penduduknya saja kelaparan itu. Juga tak akan sulit secara militer bagi Korsel, apalagi dibantu AS, untuk melumat ”mulut besar” Korut.
Ini adalah proksi dari perseteruan AS-China di kawasan. Tak mungkin Korut, yang mayoritas pasokan pangannya dari China, berani bertindak sendiri.
Setelah Korut melakukan penembakan ke wilayah Korsel pada hari Selasa (23/11/2010) lalu, PM Wen tidak mengecam Korut. Bahkan, media China menilai serangan itu adalah akibat provokasi AS-Korsel karena melakukan militer di Laut Kuning.
Dalam perbandingan kekuatan militer sekarang ini, juga sulit bagi China-Korut melawan kolaborasi AS-Korsel jika terjadi perang, apalagi didukung dengan kekuatan Jepang, Australia, India, atau mungkin Rusia, teman dekat Korsel.
Namun, ke depan, dengan memudarnya pamor AS, dan menguatnya pamor China, bukan tak mungkin keadaan menjadi terbalik. Apa yang harus dilakukan? Wakil Menlu AS James Steinberg di situs The Japan Times, 18 Oktober lalu, menegaskan ”jaminan strategis” bagi sekutu-sekutunya di Asia. Ini adalah jaminan bagi kawasan untuk menghadapi China.
Sebenarnya China telah memberi manfaat ekonomi yang besar juga bagi dunia. Karena itu, ramai-ramai berbagai negara merangkul China menjadi teman. Namun, sinyal-sinyal menunjukkan hubungan ini tak saja akan ”berbuah manis”, tetapi bisa mendadak ”berbuah pahit”.
Jadi, waspadalah, ini bukan sekadar perang antar-Korea, Bung! Kepada siapa kita harus mengatakan itu? Tentu termasuk kepada Indonesia sebagai pemimpin ASEAN, yang lagi lunglai.
Tak lagi ada waktu sebenarnya bagi Indonesia untuk terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. Indonesia bisa tertelan superpower jika tidak melakukan antisipasi, atau jika tak sadar dengan China’s irresistible power surge.
Sumber: KOMPAS
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment