Hal ini disampaikan oleh pengamat militer LIPI Hermawan Sulistyo dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (20/3). "Kalau sampai Juni, kita bisa merumuskan lebih tajam apa mau kita. Kalau sampai Mei negosiasi alot, kita bisa terima. Ini momen bagus untuk merumuskan maunya apa, tapi kalau berharap kerjasama atau hibah itu jangan mimpi," ujarnya.
Ia menyatakan porsi kegiatan filantropis dalam pemerintahan Demokrat sudah jauh berkurang. Ia mencatat bahwa hanya ada 157 juta dolar Amerika untuk membiayai pendidikan dimana porsi itu tak dimanfaatkan Indonesia.
Sementara, bidang militer yang membutuhkan sokongan alutsista, tidak ditanggapi secara proporsional oleh Amerika Serikat selama ini. Indonesia semestinya bisa menyiasati dengan diversifikasi senjata meski ia nilai telat dilakukan oleh militer sekarang.
"Tapi, kalau militer faktanya kita kesulitan menjangkau alutsista disana. Diversifikasi senjata itu telat dilakukan. Semestinya kalau tidak bisa menggunakan M16, bisa gunakan B3. Nah, pengalaman ini tak mampu dimanfaatkan, kita masih kekurangan skill teknis dan jaringan, jadi kita belum dianggap ancaman," jelasnya.
Ia berpendapat semestinya Indonesia merumuskan dengan jelas militer yang akan dibangun dinilai dari ancaman yang dihadapi serta posisi Indonesia di masa depan. Doktrin yang tercantum dalam buku putih pertahanan, sambung dia, tidak mengandung visi yang jelas sehingga benchmarknya tidak terpetakan dengan baik.
"Konsep amburadul. Dari teknis, dikasih pesawat ga boleh dipakaikan rudal. Kita harus merumuskan diri. Kita malah sering ribut didalam, tidak melihat kondisi diri sendiri. Tidak bisa memetakan Indonesia pada 20 tahun mendatang," tukasnya
Sumber: MEDIA INDONESIA
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment