Kasus penangkapan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan yang sedang menggiring kapal pencuri ikan di perairan Indonesia oleh kepolisian Malaysia dan diperlakukannya mereka seperti pelaku kriminal serta-merta menimbulkan reaksi amat keras dari masyarakat. Ini tentu merupakan akumulasi dendam kesumat Indonesia, yang sudah berkali-kali mengalami perlakuan seenak udel pihak Malaysia. Berbagai analisis dan kupasan dikemukakan menyangkut sikap dan perangai Malaysia yang selalu memandang sebelah mata kepada Indonesia.
Salah satu faktor yang sering mengemuka mengapa Malaysia begitu meremehkan kita dewasa ini adalah lemahnya kemampuan militer Indonesia yang hanya didukung oleh alat utama sistem persenjataan yang sudah uzur sehingga tak lagi memiliki efek penggetar. Istilah efek penggetar diambil dari bahasa Inggris, deterrent effect, yang bermakna ”efek yang membuat seseorang mengurungkan niatnya melakukan sesuatu karena takut akan ganjaran yang bakal ia terima”. Misalnya, sanksi hukuman mati bagi pengedar narkoba merupakan deterrent effect bagi mereka yang mau coba-coba berbisnis haram itu. Namun, sudah tepatkah kita memakai istilah efek penggetar itu?
Tampaknya penggagas pertama istilah ini mengajukannya dengan efek penggentar. Pemilihan istilah itu memang sudah sangat memadai karena kata gentar bermakna ”kehilangan keberanian untuk melakukan sesuatu”. Judul lagu perjuangan ”Maju Tak Gentar” karya komponis Cornel Simandjuntak secara tepat menggambarkan pemakaian kata gentar ini. Namun, tanpa terlacak kapan terjadinya, kata efek penggentar sudah bermetamorfosis menjadi efek penggetar. Padahal, kita sangat mafhum bahwa kata dasar getar hanya punya satu makna saja: gerak berulang-ulang dengan cepat. Vibrator yaitu alat pemijat yang bergetar atau perangkat nada panggil pada telepon genggam adalah contoh kata yang layak disebut penggetar.
Metamorfosis istilah yang tidak jarang menggelikan ini mungkin salah kita bersama di dalam melestarikannya. Dahulu kala ada istilah lesung pipit untuk menggambarkan lekukan manis di seputar pipi, padahal sesungguhnya istilah yang benar adalah lesung pipi. Ada juga pemakaian istilah tolak ukur yang merupakan pembelokan dari kata tolok ukur.
Akan tetapi, terhadap penggunaan istilah penggetar ini saya terbelenggu oleh kekhawatiran tersendiri. Alih-alih nyali Malaysia menjadi ciut kalau kita beri penggetar ini, malahan dia merasa seperti tuan besar yang lagi menikmati pijatan getar dari kita sebagai hambanya. Oleh karenanya sudah waktunya penggetar kita kembalikan dengan penggentar sehingga Malaysia akan berpikir seribu kali sebelum dengan sengaja menginjak kaki kita.
Sumber: KOMPAS
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment