KOMPAS.com — "Kami terbiasa membagi satu bungkus mi instan menjadi dua potong atau bahkan empat potong selama patroli di hutan karena, selain menghemat, di hutan juga banyak makanan," kata seorang perwira menengah yang bertahun-tahun berpatroli di perbatasan Indonesia dengan Sarawak, Malaysia.
Mi instan itu, tutur Kapten Umar dari Kodam XII, kemudian dimasak dengan sayur atau ikan toman yang beratnya bisa mencapai 13 kilogram, hingga menyantap macan akar yang merupakan macan sebesar kucing.
Cerita itu diperoleh para wartawan Seksi Kementerian Pertahanan dan TNI saat press tour ke Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, pada 14-15 Desember 2010 yang dipimpin Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pertahanan Brigadir Jenderal I Wayan Midhio.
Kapten Umar yang penah menjadi komandan komando rayon militer tahun 1996 hingga 2004 di Kota Putusibau itu mempunyai tugas mengamankan dua kecamatan yang mencakup beberapa desa. 60 persen dari wilayah "kekuasaan" Umar adalah hutan-hutan.
"Saya pernah patroli bolak-balik selama enam hari. Pada satu kawasan ada tanah yang panjangnya hanya 500 meter harus dijangkau tidak kurang dari satu jam karena semak-semaknya harus ditebas dahulu," kata perwira menengah yang juga bergelar S-2.
Bahkan pernah ada seorang bintara pembina desa (babinsa) yang karena diperintah komandan kodim (komando distrik militer) harus berjalan pergi-pulang untuk mengecek patok perbatasan Indonesia-Malaysia selama 36 hari.
Babinsa setingkat sersan itu harus mengarungi hutan sendirian.
"Untung tidak terjadi apa-apa karena bisa pulang dengan selamat. Coba, kalau dia dimakan ular atau buaya, pasti tidak ada orang yang tahu dan juga orang mungkin enggan mencarinya," kata Umar yang kini bertugas di Penerangan Kodam XII Tanjungpura di Pontianak.
Ketika ditanya tentang suka-duka berpatroli selama berhari-hari di hutan belantara, dia mengaku tidak ada pilihan lain, kecuali menikmatinya.
Dia lalu bercerita, pada suatu hari beberapa tentara berpatroli di hutan. Karena sudah letih, mereka pun beristirahat di atas akar pohon yang sangat besar.
"Namun, tiba-tiba ada seorang prajurit yang merasa heran karena tenyata senjatanya bisa berjalan sehingga menjadi jauh dari tempat semula ia letakkan. Ketika para prajurit itu berdiri untuk mengetahui kenapa senjata itu bisa "berjalan sendiri" ternyata mereka baru tahu bahwa "akar pohon" yang mereka duduki itu adalah tubuh seekor ular sangat besar.
"Ular itu kemudian ditembak dan ketika dikuliti ternyata di dalamnya ada dua ekor babi. Coba kalau prajurit-prajurit itu dimakan ular tersebut, tentu bisa dibayangkan bagaimana situasinya," kata Umar sambil tersenyum mengenang hal itu.
Pada Rabu, 15 Desember 2010, Panglima Kodam Tanjungpura Mayor Jenderal Geerhan Lantara mengunjungi Entikong untuk memeriksa para prajuritnya.
996 kilometer
Ketika bertemu dengan para wartawan Seksi Kementerian Pertahanan dan TNI, Mayjen Geerhan Lantara menjelaskan bahwa panjang perbatasan Indonesia dengan Sarawak, Malaysia, adalah 996 kilometer.
Namun, ada data lain yang menyebutkan, panjang garis perbatasan itu 1.020 km.
Di perbatasan itu Indonesia memiliki 31 pos. Namun, sampai sekarang hanya ada satu pos lintas batas yang resmi, yakni di Entikong tersebut. Pada 2011 akan dibuka satu pintu lintas batas lagi.
Di pos gabungan bersama di Entikong terdapat 70 prajurit TNI AD yang didampingi 10 anggota Tentara Diraja Malaysia.
Sementara itu, di pos bersama di wilayah Malaysia, terdapat 10 prajurit TNI AD untuk mendampingi 70 serdadu Malaysia.
Karena di perbatasan 996 km itu baru ada satu pintu lintas batas resmi, warga Indonesia atau Malaysia yang malas atau enggan pergi ke Entikong menggunakan " jalan tikus atau jalur tidak resmi alias ilegal.
Geerhan yang merupakan mantan Panglima Divisi Kostrad di Malang, Jawa Timur, dan mantan Danrem D Provinsi Aceh mengakui bahwa sampai saat ini masih banyak warga Indonesia yang lebih suka berhubungan dengan Malaysia, selain karena hubungan kekerabatan, disebabkan barang-barang di negara jiran lebih murah dan lebih bagus.
Ketika ditanya wartawan apakah ada pembangunan di Entikong pada khususnya dan Kalimantan Barat pada umumnya, Geerhan memberikan jawaban sangat diplomatis.
"Pemerintah daerah sudah melakukan banyak hal," kata Geerhan "setengah memuji". Namun, ternyata pembangunan di Entikong masih kalah jauh dari Malaysia.
"Salah satu kelemahan kita adalah pembangunan di sini lebih banyak dilakukan secara parsial atau hanya dilakukan berdasarkan kebutuhan instansi tersebut," katanya.
Dia mengisahkan, baru-baru ini seorang menteri datang, tetapi hanya membawa staf atau ahli di bidang itu saja.
"Seharusnya menteri itu membawa ahli-ahli dari bidang-bidang yang lain, misalnya kesehatan atau pendidikan, sehingga menjadi terintegrasi," kata Geerhan.
Ketika ditanya upaya yang harus ditempuh pemerintah agar Entikong atau Kalimantan Barat tidak "terus kalah" dari negara tetangga, sambil tersenyum, perwira tinggi ini berujar, "Selama lima tahun mendatang kita harus melakukan pembangunan secara masif."
Dia yakin bahwa jika pembangunan dilakukan secara masif dan terkoordinasi sehingga tak ada lagi pembangunan yang hanya mementingkan ego instansi, tidak perlu lagi ada kekhawatiran bahwa warga Entikong atau Kalimantan Barat merasa lebih dekat dengan Malaysia ketimbang Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sumber: KOMPAS
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment