"Warga tetap bertahan dengan ganti rugi Rp150 ribu per meter persegi, sementara pemerintah sudah menaikkan hingga Rp50 ribu per meter persegi," kata anggota DPRD Sulut dari daerah pemilihan Sangihe-Talaud, Ben Alotia, di Manado, Rabu.
Alotia yang juga mantan Ketua DPRD Kabupaten Talaud itu, sempat menjadi fasilitator untuk menyelesaikan ganti rugi lahan itu, namun belum ada solusi berarti.
"Masyarakat tetap bertahan diangka Rp150 ribu, alasannya sudah tidak ada lagi lahan untuk berkebun," katanya.
Apalagi pulau terluar Miangas dan hanya bisa menempuh jalur laut selama 45 menit ke Filipina itu, wilayah tidak terlalu besar dengan daerah lainnya yang sulit dijadikan lahan perkebunan.
"Memang harga yang diajukan warga terlalu mahal, tentunya pemerintah kesulitan untuk memenuhinya," ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Badan Perbatasan Provinsi Sulut, Max Gagola mengatakan, pembangunan bandara udara di pulau terluar, Miangas, yang ditujukan untuk meringankan beban masyarakat mendapatkan transportasi udara, ternyata masih terganjal dengan masalah pembebasan lahan.
"Masyarakat di Miangas enggan melepas lahan untuk diganti pemerintah, padahal sudah ditawarkan biaya ganti rugi secara proporsional," katanya.
Menurutnya, masyarakat meminta ganti rugi dengan harga tinggi karena lahan yang dilepas merupakan areal perkebunan kelapa yang masih produktif dan dikelola petani setempat.
Sementara ini bandara Miangas dinilai belum memenuhi syarat untuk kegiatan penerbangan, karena hanya memiliki panjang lintasan terbang atau "runway" tidak sampai 500 meter, sementara dibutuhkan panjangnya sekitar 1.000 meter.
Padahal kehadiran Bandara secara representatif dinilai sangat penting bagi warga Miangas yang berpenduduk sebanyak 700 ribu itu, guna mempermudah hubungan ke ibukota Manado maupun daerah lainnya.
Sumber: ANTARA
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment