PONTIANAK (Suara Karya): Panglima Kodam XII/Tanjungpura Mayjen TNI Geerhan Lantara, mengkhawatirkan, bila pembangunan kawasan perbatasan negara Republik Indonesia (Entikong/Kalimantan Barat), tak diakselarasi dengan pembangunan perbatasan Malaysia (Serawak) akan menimbulkan kesenjangan ekonomi antarpenduduk kedua negara. Kesenjangan ekonomi dan budaya membawa dampak pada ancaman nirmiliter.
"Akselarasi pembangunan harus dilakukan seimbang. Jika tidak dilakukan, kita akan tertinggal dalam tinkat ekonomi dan tentunya berpengaruh terhadap psikologis masyarakat kita yang tinggal di kawasan perbatasan dua negara, seperti di kawasan perbatasan Kalimantan," ujar Geerhan saat menerima audiensi wartawan dari Jakarta di Markas Kodam XII/Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat, Selasa (14/12).
Turut hadir, Kepala Pusat Komunikasi dan Publik Kementerian Pertahanan Brigjen TNI I Wayan Midhio.
Nirmiliter, seperti sosial budaya, ekonomi, teknologi dan ideologi merupakan ancaman paling dikhawatirkan pemerintah. Warga perbatasan Indonesia lebih gampang mendapatkan akses informasi dari negara Malaysia.
"Administrasi kependudukan warga kita adalah WNI. Namun, interaksi dan pemenuhan kebutuhan keseharian penduduk kita lebih cenderung ke negara tetangga. Selain itu, akses informasi yang mereka lebih banyak dari negara tetangga," ujarnya.
Meski demikian, Geerhan menyakini nasionalisme penduduk Indonesia yang tinggal di kawasan perbatasan negara RI-Malaysia tidak luntur oleh iming-iming ekonomi.
Menurut dia, kesenjangan ekonomi dan psikologis kehidupan masyarakat di kawasan perbatasan Indonesia dan Malaysia baru akan terlihat konkrit dalam jangka waktu lima tahun ke depan.
Sekarang ini, Malaysia gencar membangun sarana dan prasarana serta infrastruktur di kawasan perbatasan.
Sebaliknya, menurut mantan Panglima Divisi Infanteri II Kostrad ini, pembangunan perbatasan di Indonesia belum konkrit karena insinkronisasi peraturan daerah dengan peraturan pemerintah pusat maupun undang-undang.
"Putra-putra daerah dan tak kalah cerdas dibandingkan dengan saudara kita dari negara tetangga. Sayangnya, kecerdasan anak bangsa belum diimplementasikan total dalam kerangka pembangunan nasional untuk kawasan perbatasan," ujar Geerhan.
Regulasi Khusus
Ia tak menampik realita kesenjangan penduduk di kawasan perbatasan Malaysia dan Indonesia. Penduduk Indonesia cenderung melaksanakan kegiatan ekonomi di negara tetangga serumpun itu. "Sekarang sudah terlihat jelas kesenjangan itu," ujar Geerhan.
Ia menambahkan, mata uang Malaysia, ringgit lebih bergengsi dari rupiah. Di Malaysia, nilai tukar rupiah tidak diterima. Sebaliknya, warga Indonesia yang tinggal di perbatasan Indonesaia menggunakan nilai transaksi ringgit.
Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kalimantan Barat Fathan A Rasyid menyatakan, sinergitas TNI dan Pemerintah Daerah Kalimantan Barat berupaya mewujudkan pembangunan di daerah perbatasan masih terbentur pada kebijakan pemerintah pusat dan undang-undang.
"Perlu ada kebijakan atau regulasi khusus untuk pembanguna perbatasan," ujarnya.
Sumber: SUARA KARYA
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment