SINGAPURA, KOMPAS Hasil perjanjian batas laut wilayah negara antara Indonesia dan Singapura di bagian barat mulai berlaku Senin (30/8). Hal ini ditandai dengan pertukaran instrumen ratifikasi yang dilakukan di Singapura oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa dan Menteri Luar Negeri Singapura George Yong Boon Yeo.
Pertukaran instrumen ratifikasi merupakan proses normatif dalam perjanjian internasional. Ini merupakan syarat untuk diberlakukannya perjanjian yang telah ditandatangani sebelumnya.
Dalam hal batas laut wilayah barat, pihak Indonesia dan Singapura telah menandatangani perjanjian di Jakarta, 10 Maret 2009.
Batas laut bagian barat yang dimaksud adalah antara Pulau Nipa di Kepulauan Riau dan Tuas di Singapura. Dasar yang digunakan kedua negara dalam menetapkan garis batas adalah Konvensi Hukum Laut 1982 di mana kedua negara adalah pihak yang berkonvensi.
Marty menyatakan, arti penting dari pertukaran instrumen ratifikasi tersebut adalah adanya kepastian hukum di antara kedua negara tentang batas wilayahnya masing-masing.
Hal itu sekaligus menjadi dasar kuat bagi kedua negara untuk meningkatkan kerja sama bilateral untuk pengelolaan kawasan perbatasan. Di antaranya adalah hal yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam.
”Pertukaran instrumen ratifikasi ini merupakan puncak dari proses yang sudah bergulir sejak tahun 2005 dengan delapan kali pertemuan. Hasilnya adalah sebuah kesepakatan yang sudah dicapai pada tahun 2009,” kata Marty.
George menyatakan, pertukaran instrumen ratifikasi tersebut menjadikan hubungan RI-Singapura yang selama ini telah baik menjadi semakin baik. ”Karena posisi kedua negara menjadi jelas,” kata Yeo.
Kedua menlu juga bersepakat untuk segera memulai perundingan batas laut wilayah di bagian timur, yakni Batam-Changi dan Pulau Bintan-Pulau Pedra Branca. Namun, sebagaimana dikemukakan George, pertama-tama yang akan menjadi fokus adalah Batam-Changi.
Sengketa dengan Malaysia
Persoalan batas antara Pulau Bintan dan Pulau Pedra Branca baru akan dibicarakan setelah ada kesepakatan soal Batam-Changi. Ini mengingat Pulau Pedra Branca masih menjadi sengketa antara Malaysia dan Singapura. Terkait hal itu, RI masih harus menunggu.
Selain pertukaran instrumen ratifikasi, kedua menteri juga menandatangani joint submission letter (semacam pernyataan bersama) untuk disampaikan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hal yang disampaikan adalah soal perjanjian batas barat itu sendiri.
Perjanjian antara Indonesia dan Singapura tentang penetapan garis batas laut wilayah ditandatangani pada 25 Mei 1973, tetapi belum semuanya disepakati. Baru pada 2005 perundingan dimulai kembali. Untuk perjanjian tentang batas bagian barat ditandatangani di Jakarta, 10 Maret 2009.
Kedua menlu juga membahas tindak lanjut dari kesepakatan di tingkat kepala pemerintahan saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertemu Perdana Menteri Lee Hsien Loong di Singapura, 17 Mei 2010.
Dalam kesempatan itu disepakati juga pembentukan enam kelompok kerja yang meliputi bidang tenaga kerja, agribisnis, pariwisata, pertumbuhan ekonomi Batam-Bintan-Karimun dan kawasan ekonomi khusus lainnya, investasi, serta perhubungan udara.
Sehubungan dengan hal tersebut, kedua menlu juga sepakat mengadakan pertemuan informal dan formal enam bulan sekali. Tujuannya adalah untuk mengevaluasi perkembangan hubungan bilateral terkait kinerja enam kelompok kerja tersebut.
Sumber: KOMPAS
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment