"Untuk menekan Malaysia, saya kira setiap jalur diplomatik perlu didukung manuver militer, tapi bukan perang," katanya kepada ANTARA News di Surabaya, Jumat.
Ia mengemukakan hal itu ketika dikonfirmasi tentang sikap pemerintah yang terkesan lunak dalam menghadapi Negeri Jiran, Malaysia.
Menurut dosen Hubungan Internasional (HI) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu, manuver militer yang mendukung jalur diplomatik itu sudah biasa.
"China selalu menggunakan manuver militer di kawasan terluar bila menyikapi Taiwan, tapi manuver militer itu tetap bukan untuk perang," tuturnya.
Dekan Fisip Unair itu menyatakan, aksi militer merupakan show force dari militer untuk memaksa negara lain supaya "tidak mempermainkan" negara lain.
"Misalnya, kita perlu mendesak Malaysia untuk meminta maaf atas perlakuan tidak manusiawi terhadap petugas DKP. Itu tidak ada kaitannya dengan hukum, tapi etika hubungan internasional," katanya menegaskan.
Ia menilai petugas DKP di perbatasan terluar itu merupakan "wakil" dari Pemerintah Indonesia, karena itu perlakuan terhadap mereka berarti perlakuan terhadap Indonesia.
"Etika itu bergantung kepada sikap dari negara lain terhadap petugas DKP itu. Kalau sampai ada perlakuan tidak manusiawi maka kita berhak menuntut permintaan maaf itu," ucapnya.
Hal itu, akan berbeda dengan perlakuan terhadap nelayan, karena nelayan itu tidak dapat dikatakan mewakili Malaysia.
"Secara substansi, saya kira pidato Presiden Yudhoyono terkait perilaku Malaysia sudah cukup keras, tapi gayanya memang lunak," paparnya.
Namun, katanya, pidato Presiden Yudhoyono untuk menyelesaikan ketegangan dengan menata ulang batas wilayah Indonesia-Malaysia itu saja tidak cukup.
"Masalah batas wilayah saja tidak cukup, sebab kalau main tangkap, ya harus disikapi secara keras melalui manuver-manuver yang bukan untuk perang," katanya menegaskan.
Sumber: ANTARA
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment