Latihan keterampilan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD harus selalu dilakukan untuk mengasah kemampuan penggetar (deterrent) yang ditujukan tidak hanya lawan yang dari luar wilayah kesatuan RI, tetapi juga musuh dalam negeri yang mengganggu dan mengancam keselamatan rakyat dan keutuhan bangsa.
Sengketa yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia harus dimengerti sebagai zero sum games, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kepercayaan dan upaya bersama mewujudkan perdamaian kawasan dalam membentuk kerja sama ekonomi dan perdagangan bagi kesejahteraan kawula negara-negara bertetangga.
Di sisi lain, sering kali para politisi Indonesia tidak mengerti dan memahami pengejawantahan politik luar negeri Indonesia pascareformasi selalu diwarnai dengan apa yang disebut sebagai intermestic (international domestic), bagaimana persoalan internasional mempunyai dampak-dampak domestik, terutama dalam konteks ekonomi dan perdagangan.
Ketika kita mewujudkan landasan politik luar negeri tepat 62 tahun lalu sebagai bebas aktif yang dirumuskan ketika itu oleh PM Mohammad Hatta sebagai ”mendayung antara dua karang”, konteks ini yang harus dipahami dari presiden sampai rakyat kebanyakan, Indonesia adalah negara kepulauan yang menyatukan tanah dan laut sebagai Tanah Air. Dalam konteks sengketa RI-Malaysia, keseluruhan persoalan intermestic dan Tanah Air ini bukan menjadi masalah parochial. Posisi Indonesia harus ditempatkan pada otonomi tertinggi di kawasan Asia Tenggara dan bahkan dunia karena Indonesia adalah negara demokrasi terbesar di Asia Timur dan karena Indonesia adalah bangsa yang mayoritas Muslim terbesar di dunia yang mempertahankan hubungan baik dengan negara-negara Barat yang mulai condong anti-Islam, termasuk AS.
Penggetar
Ada perbedaan mendasar yang harus dimengerti antara pengejawantahan kebijakan luar negeri Istana Kepresidenan dan Kementerian Luar Negeri. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengedepankan ”seribu sahabat tanpa musuh” (one thousand friends zero enemies), sedangkan Menlu RI membangun proyeksi kebijakan luar negeri kita berdasarkan platform yang kita sebut sebagai Doktrin Natalegawa tentang keseimbangan dinamis (dynamic equilibrium) sebagai sikap dan posisi kita di tengah globalisasi, termasuk hubungan dengan Malaysia.
Yang harus disimak dan dipahami pandangan presiden lebih bersifat taktis, berbicara masalah serumpun, hubungan bertetangga yang baik, mencerminkan keraguan penggetar (deterrent) yang dimiliki dan mengkhawatirkan sebuah konflik terbuka menjadi faktor destabilisasi kawasan dan dalam negeri yang bisa menjauh dari pokok persoalan penyelesaian perbatasan.
Doktrin Natalegawa lebih strategis dalam mengantisipasi tidak hanya persoalan pertikaian wilayah perbatasan saja, tetapi cakupan lebih luas mencakup kawasan yang lebih luas. Sebagai persoalan strategis, pengejawantahannya dalam bentuk konkret ambisi geopolitik eksternal. Doktrin ini perlu mengantisipasi terjadinya ketidakseimbangan yang juga dipacu oleh globalisasi dan mendorong ke tingkatan yang lebih luas.
Secara keseluruhan, kombinasi kedua pendekatan ini setidaknya yang harus mampu mengukur perang koheren kedua negara untuk menentukan strategi akbar kedua belah pihak. Sehingga denominator umum yang terendah bisa ditentukan agar tidak terjadi komplikasi, pertama, tujuan minimal yang diwarisi (soal tumpang tindih perbatasan) tidak jelas, dan kedua, bagi para pengambil keputusan politisi dan militer untuk menghasilkan keputusan yang moderat.
Pertanyaannya adalah apakah kita harus bertempur? Ketika kita tidak memiliki kekuatan penggetar, minimal untuk mengawasi, mengembangkan, dan menjaga choke points di Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Ombai-Wetar yang menjadi jalur penting dunia, selama itu pula akan banyak negara menengah dan kecil yang akan mendestabilisasikan posisi Indonesia melalui berbagai cara. Termasuk adanya kenyataan tumpang tindih wilayah.
Sumber: KOMPAS
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment