Pendapat itu dikatakan oleh Direktur Eksekutif Institute for Defense Security and Peace Studies (IDSPS) Mufti Makarim menanggapi serah terima tiga pesawat tempur Sukhoi SU-27 SKM dari Rusia kepada Indonesia yang diwakili Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro.
Penambahan tiga unit pesawat tempur tersebut, melengkapi dan menambah kekuatan Skadron Udara 11 Wing 5 Landasan Udara Sultan Hasanuddin dengan 10 pesawat jet tempur Sukhoi dengan tipe SU-30 MK2, SU-27 SK dan SU-27 SKM yang datang secara bertahap 2003, akhir 2008, awal 2009 dan September 2010 ini.
"Cita-cita untuk membangun kekuatan udara itu hitungannya harus squadron. Jika diukur dengan shukoi yang baru ada 3 buah, itu masih jauh. Bukan soal kurang atau labih, tapi untuk melakukan gelar tempur hal itu tidak memadai," ujar Mufti kepada INILAH.COM saat dihubungi Selasa (28/9).
"Saya lihat sekarang itu cuma untuk gagah-gagahan saja. Tapi kalau untuk dipake perang belum bisa," tegasnya.
Menurut Mufti idealnya kekuatan TNI angkatan Udara harus bisa mengkombinaskna empat elemen pertahanan udara, yaitu unsur tempur, logistik, manusia, dan radar. Unsur tempur terdiri dari pesawat dan senjata untuk bertempur, pesawat logistik untuk pengisian bahan bakar dan persenjataan di udara, unsur manusia adalah prajurit penerbang dan penerjun, dan sistem radar untuk membaca gerakan musuh.
"Apalagi jika dibanding dengan rancang bangun persenjataaan negara-negara NATO, negara kita sangat jauh tertinggal," kata Mufti.
Negara-negara anggota NATO, menurut Mufti telah berhasil memngintegrasikan pertahanan udara mereka di smua unsur itu. "Karena itu sistem pertahanan udara harus terintegrasi, bukan gado-gado. Tidak hanya canggih, tapi juga harus holistik," tandasnya.
Sumber: INILAH
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment