ALUTSISTA ARDAVA BERITA HANKAM CAKRA 401 SUBMARINE DEFENSE STUDIES INDO-DEFENSE INDONESIA DEFENSE INDONESIA TEKNOLOGI RINDAM V BRAWIJAYA THE INDO MILITER
Formil MIK Formil Kaskus Formil Detik.COM
PT.DI LAPAN LEN NUKLIR PAL PINDAD RADAR RANPUR ROKET RUDAL SATELIT SENJATA TANK/MBT UAV
TNI AD TNI AL TNI AU
HELIKOPTER KAPAL ANGKUT KAPAL INDUK KAPAL LATIH KAPAL PATROLI KAPAL PERANG KAPAL PERUSAK KAPAL SELAM PESAWAT TEMPUR PESAWAT ANGKUT PESAWAT BOMBER PESAWAT LATIH PESAWAT PATROLI PESAWAT TANKER
KOPASSUS PASUKAN PERDAMAIAN PERBATASAN
  • PERTAHANAN
  • POLRI POLISI MILITER
  • PBB
  • NATO BIN DMC TERORIS
    AMERIKA LATIN AMERIKA UTARA BRASIL USA VENEZUELA
    AFGANISTAN ETHIOPIA IRAN ISRAEL KAZAKHTAN KYRGYZTAN LEBANON LIBYA MESIR OMAN PALESTINA TIMUR TENGAH YAMAN
    ASEAN AUSTRALIA Bangladesh BRUNAI CHINA INDIA INDONESIA JEPANG KAMBOJA KORSEL KORUT
    MALAYSIA Selandia Baru PAKISTAN PAPUA NUGINI Filipina SINGAPURA SRI LANGKA TAIWAN TIMOR LESTE
    BELANDA BULGARIA INGGRIS ITALIA JERMAN ROMANIA RUSIA UKRAINA
    MIK News empty empty R.1 empty R.2 empty R.3 empty R.4

    Wednesday, August 10, 2011 | 9:14 AM | 0 Comments

    Produk Teknologi Asing Masih Mendominasi Di Indonesia

    Jakarta - Meskipun Pencanangan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional pada 10 Agustus 1995 telah berselang 16 tahun, sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi atau iptek di Indonesia belum dapat benar-benar diberdayakan untuk menggerakkan perekonomian dan mendongkrak daya saing industri nasional.

    Hal ini ditunjukkan minimnya produk inovasi anak bangsa di masyarakat. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, yaitu dominasi produk teknologi asing. Padahal Indonesia pernah mampu memproduksi produk berteknologi canggih, seperti pesawat terbang, kapal, dan peralatan elektronika. Namun, itu hanya berlangsung tiga tahun ketika krisis moneter melanda negeri ini tahun 1998. Industri strategis—pembuatnya—kemudian terpuruk, bahkan kini berada di ujung tanduk.

    Ketua Persatuan Insinyur Indonesia, Said Didu, mengatakan, hal ini disebabkan pemerintah tidak mampu memelihara sumber daya manusia iptek—sebagai sumber kekuatan industri—untuk tetap bertahan. Bahkan yang terjadi adalah brain drain para ahli dan perekayasa keteknikan ke negara maju, termasuk ke negara tetangga, Malaysia dan Singapura.

    Sementara itu, belakangan perguruan tinggi di bidang keteknikan kini bergeser pada penyelenggaraan pendidikan bisnis yang lebih diminati.

    Kesenjangan komunikasi

    Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Marzan Aziz Iskandar mengatakan, komunikasi antara lembaga penelitian, peneliti atau perekayasa, serta perguruan tinggi dengan industri masih sangat kurang. Akibatnya, antara kebutuhan industri dan kemampuan peneliti tidak terkait.

    Upaya memperbaiki hubungan lembaga penelitian dengan industri sebenarnya sudah digalakkan sejak beberapa tahun lalu. Namun, hasilnya terasa sangat lambat. Industri tetap lebih suka membeli produk jadi asing karena lebih murah, praktis, dan risikonya jauh lebih kecil dibandingkan dengan mendirikan perusahaan untuk memanfaatkan teknologi dalam negeri.

    "Industri perlu insentif khusus dari pemerintah agar mau menggunakan produk teknologi dalam negeri," ujarnya.

    Komitmen rendah

    Peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional dimulai sejak 1995 yang ditandai dengan keberhasilan penerbangan perdana pesawat N-250 yang merupakan hasil karya anak bangsa. Namun, sejak saat itu, pesawat ini tidak pernah diproduksi karena krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997-1998 dan rendahnya komitmen pemerintah.

    Wakil Rektor Bidang Riset dan Inovasi, Institut Teknologi Bandung (ITB), Wawan Gunawan A Kadir menambahkan, ketiadaan regulasi yang mengatur hubungan antara industri dan perguruan tinggi membuat riset perguruan tinggi kurang termanfaatkan. Kalaupun ada hasil penelitian yang dimanfaatkan industri, hal itu terjadi karena adanya hubungan antar-individu di perguruan tinggi dan industri, bukan karena hubungan kelembagaan.

    "Kerja sama antara industri dan perguruan tinggi ini lebih efisien dan murah daripada industri membangun sendiri unit penelitiannya," ujarnya.

    Kerja sama ini memang tidak bisa langsung menghasilkan produk. Untuk penelitian hingga menghasilkan produk untuk skala industri membutuhkan waktu 5-10 tahun. Biaya penelitian juga tidaklah murah. Berbagai kendala inilah yang membutuhkan insentif dari pemerintah.

    "Butuh kemauan politik kuat dari pemerintah untuk mau memanfaatkan teknologi buatan sendiri," katanya.

    Menurut Wawan, ITB tidak hanya mendorong pemanfaatan hasil penelitiannya untuk dimanfaatkan industri, tetapi juga mendorong lahirnya teknopreneur-teknopreneur muda. Dengan demikian, lulusan perguruan tinggi tak hanya disiapkan menjadi pegawai, tetapi juga menjadi wirausahawan.

    Sumber : KOMPAS

    Berita Terkait:

    0 komentar:

    Post a Comment

     
    Copyright © 2010 - All right reserved | Template design by ADMIN | Published by MAJU INDONESIA KU
    Proudly powered by Blogger.com | Best view on mozilla, internet explore, google crome and opera.