ALUTSISTA ARDAVA BERITA HANKAM CAKRA 401 SUBMARINE DEFENSE STUDIES INDO-DEFENSE INDONESIA DEFENSE INDONESIA TEKNOLOGI RINDAM V BRAWIJAYA THE INDO MILITER
Formil MIK Formil Kaskus Formil Detik.COM
PT.DI LAPAN LEN NUKLIR PAL PINDAD RADAR RANPUR ROKET RUDAL SATELIT SENJATA TANK/MBT UAV
TNI AD TNI AL TNI AU
HELIKOPTER KAPAL ANGKUT KAPAL INDUK KAPAL LATIH KAPAL PATROLI KAPAL PERANG KAPAL PERUSAK KAPAL SELAM PESAWAT TEMPUR PESAWAT ANGKUT PESAWAT BOMBER PESAWAT LATIH PESAWAT PATROLI PESAWAT TANKER
KOPASSUS PASUKAN PERDAMAIAN PERBATASAN
  • PERTAHANAN
  • POLRI POLISI MILITER
  • PBB
  • NATO BIN DMC TERORIS
    AMERIKA LATIN AMERIKA UTARA BRASIL USA VENEZUELA
    AFGANISTAN ETHIOPIA IRAN ISRAEL KAZAKHTAN KYRGYZTAN LEBANON LIBYA MESIR OMAN PALESTINA TIMUR TENGAH YAMAN
    ASEAN AUSTRALIA Bangladesh BRUNAI CHINA INDIA INDONESIA JEPANG KAMBOJA KORSEL KORUT
    MALAYSIA Selandia Baru PAKISTAN PAPUA NUGINI Filipina SINGAPURA SRI LANGKA TAIWAN TIMOR LESTE
    BELANDA BULGARIA INGGRIS ITALIA JERMAN ROMANIA RUSIA UKRAINA
    MIK News empty empty R.1 empty R.2 empty R.3 empty R.4

    Thursday, August 19, 2010 | 9:05 AM | 0 Comments

    Indonesia Jadi "Subordinat" Malaysia?

    Setiap kali terjadi gesekan antara Indonesia dan Malaysia, kesan yang ditangkap publik adalah Indonesia menjadi subordinat Malaysia. Pemerintah Indonesia boleh membantahnya, tetapi itulah kesan yang selalu muncul dan dirasakan masyarakat atas serial gesekan Indonesia-Malaysia.

    Kesan itu kembali mencuat dalam insiden di perairan Tanjung Berakit, Kepulauan Riau, Jumat (13/8). Kesan menjadi yang subordinat tidak sebatas terefleksikan dari kejadiannya saja, tetapi juga dari penanganan dan penyelesaiannya.

    Bagaimana mungkin tiga pegawai Satuan Kerja Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Batam, selaku aparat pemerintah yang sedang menjalankan tugas, ditangkap Polis Diraja Malaysia di wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Tragisnya, mereka kemudian ditahan layaknya kriminal di Balai Polis Ibu Pejabat Kota Tinggi di Johor Bahru.

    Menurut Kepala Stasiun PSDKP Pontianak Bambang Nugroho, ketiga pegawai PSDKP ditahan di sel terpisah. Masing-masing dicampur dengan para pelaku kriminal dan diberi pakaian tahanan dan diborgol.

    ”Sementara di Indonesia, kami tidak memberlakukan demikian terhadap tujuh nelayan Malaysia. Kami memberi mereka baju baru dan bukannya baju tahanan,” kata Bambang.

    Asriadi, salah seorang pegawai PSDKP yang ditahan, terluka kepalanya sampai harus dijahit. Penyebabnya sangat sumir: karena terpeleset di kapal.

    Apa boleh buat, jawaban itu jadi memberi kesan ada upaya menutupi penyebab yang sebenarnya. Setidaknya informasi yang dihimpun di luar jumpa pers menyebutkan, Asriadi terluka saat ditarik paksa naik ke Kapal Patroli Polisi Diraja Malaysia. Apakah itu karena dipukul atau terpeleset, entahlah.

    Dalam proses negosiasi, tim dari PSDKP merasa dipingpong. Mereka harus menunggu berjam-jam untuk bisa bertemu dengan pejabat kepolisian setempat. Ada yang bilang, mereka sampai menunggu 20 jam.

    Hal yang menjengkelkan tim negosiator PSDKP adalah komitmen pejabat atas di Malaysia tidak diteruskan dengan disposisi yang jelas ke struktur di bawahnya sehingga keputusan yang sudah dijanjikan di level atas mentah lagi di bawah. Kesannya tidak alert.

    Dalam penyelesaian insiden Tanjung Berakit, Indonesia yang datang dan melobi ke Malaysia. Indonesia-lah yang harus bermain tandang. Sementara Malaysia cukup menjadi tuan rumah. Dari perspektif olahraga, tuan rumah selalu lebih diuntungkan. Dari perspektif diplomasi, Indonesia yang kelihatan lebih butuh.

    Misalnya saja, untuk urusan mengonfirmasi kabar dan kondisi tujuh nelayan Malaysia yang ditahan di Batam, Malaysia cukup meminta tolong kepada seorang warga Batam yang pernah bekerja di salah satu konsulat Jenderal Malaysia di Indonesia untuk mengecek.

    Dalam insiden di perairan Tanjung Berakit, Malaysia dua kali melanggar batas wilayah Indonesia. Pertama, dilakukan lima kapal nelayan Malaysia yang kedapatan mencuri ikan dan kedua, dilakukan kapal patroli Polis Diraja Malaysia saat berusaha membebaskan lima kapal itu.

    Kapal patroli Polis Diraja Malaysia adalah representasi Pemerintah Malaysia di lautan. Kapal patroli tersebut melanggar batas kedaulatan RI. Jadi silogismenya tak perlu ditulis lebih detail lagi.

    Dan sontoloyo-nya, Polis Diraja Malaysia berhasil membawa kabur seluruh barang bukti pencurian ikan, mulai dari lima kapal berikut peralatan tangkapnya sampai nelayannya. Itu semua—sebagaimana disebutkan pemimpin regu patroli PSDKP, Hermanto—dilakukan dengan cara sangat arogan, mulai dari yang verbal dengan membentak- bentak sampai mengeluarkan tembakan sebanyak dua kali.

    Pertanyaan masyarakat awam sekarang, bagaimana mungkin setelah menerima perlakuan sedemikian rupa, Indonesia tetap sunyi senyap. Terlepas ada kartu truf berupa ribuan TKI di Malaysia, masyarakat mendapat kesan, Indonesia selalu di bawah ketiak Malaysia.

    Insiden di perairan Tanjung Berakit hanya menambah daftar panjang subordinasi Malaysia atas Indonesia. Sekadar menyebut beberapa kasus serupa sebelumnya, misalnya, reog Ponorogo, lagu ”Rasa Sayang Sayange”, tari pendet, dan tentunya TKI.

    Kesan memang tidak sama dengan realitas obyektif. Bahkan ada kalanya bertolak belakang. Namun, dalam hubungan diplomatik antarnegara, kesan atau citra atau image itu berarti positioning.

    Dalam terminologi budaya Jawa, ada istilah kanca wingking atau teman belakang. Istilah itu ditujukan untuk kaum perempuan Jawa pada masa lampau saat mereka hanya menjadi subordinat kaum pria.

    Jangan-jangan, pola ini merasuki karakter hubungan Indonesia-Malaysia. Tapi, apa iya, Indonesia sudah menjadi kanca wingking-nya Malaysia?

    Sumber: KOMPAS

    Berita Terkait:

    0 komentar:

    Post a Comment

     
    Copyright © 2010 - All right reserved | Template design by ADMIN | Published by MAJU INDONESIA KU
    Proudly powered by Blogger.com | Best view on mozilla, internet explore, google crome and opera.