INILAH.COM, Jakarta - Kabar baik bagi Indonesia! Seperti dilaporkan sebuah harian ibukota (Rakyat Merdeka-red) edisi Minggu 7 Nopember 2010, Amerika Serikat (AS) disebutkan akan memberikan 'santunan' dana sebesar US$700 juta dolar.
Santunan itu akan ditegaskan Presiden Obama bersamaan dengan kunjungannya ke Indonesia. Dana sekitar Rp6,2 triliun itu merupakan bagian dari komitmen AS membantu pengurangan emisi dunia yang menyebabkan 'bumi makin panas'.
Indonesia, termasuk salah satu negara yang menyebabkan berkurangnya emisi dunia. Hutan-hutan tropis di Kalimantan dirusak sampai ke akar-akarnya. Hutan-hutan lebat yang tadinya menjadi penyejuk alam jagat raya, setelah dihancurkan, justru seperti 'alat pemanas'.
Indonesia masih beruntung. Karena masyarakat dunia tidak sepenuhnya menyalahkan Indonesia. Masyarakat dunia sadar penebangan hutan tropis itu dilakukan Indonesia dalam rangka pemenuhan kehidupan.
Sebagai kompensasinya, Indonesia diminta memperbaiki hutannya. Keluarlah santunan Rp6,2 triliun dari rekening bank pemerintah AS. Dana itu nantinya digunakan untuk penghijauan kembali daerah yang sudah gundul. Dengan dana itu Indonesia wajib melakukan re-forestisasi.
Kalau santunan itu dilihat dari konteks momentum, siapapun mungkin akan berfikir, Presiden Obama benar-benar pemimpin AS yang mengerti kesulitan Indonesia. Dalam soal bantuan dia tidak hanya bicara tetapi konkrit bertindak.
Obama ternyata seorang anak baik hati. Sekalipun keturunan Afrika, tetapi asal-usulnya itu tidak mengalahkan fakta sejarah kehidupannya di masa kecil yang dipelihara putera asal Indonesia, Lolo Soetoro.
Barack Obama adalah contoh manusia seperti pepatah, 'kacang yang tidak lupa akan kulitnya'. Kalau mau lebih 'heboh' ditambahkan, Obama ternyata orang Indonesia yang berhasil menjadi Presiden di AS. Sekalipun ia di Washington tetapi tetap memikirkan Jakarta.
Dilihat dari segi jumlah, siapapun mungkin akan berucap: "Hari gene, masih ada yang mau memberi santunan? Kenapa harus ditolak?". Atau: "Gile bener. BLT (bantuan langsung tunai) Obama hampir sama dengan jumlah talangan BI untuk Bank Century, Rp6,7 triliun!".
Namun apapun versi dan alasannya, sebetulnya pemberian santunan itu, tetap perlu dikritisi. Jangan sampai Indonesia terpesona. Perlu dicatat, AS terkenal sebagai negara yang suka memberi tetapi sekaligus meminta lebih banyak. "No free lunch", kata para profesional AS.
Pandangan yang terakhir ini agaknya lebih mendekati kebenaran. Pemberian santunan tak mungkin hanya karena alasan penghutanan kembali hutan tropis. Apalagi pencairan dana tidak dilakukan sekaligus melainkan mencicil. Dana US$700 juta itu akan dicairkan setiap tahun US$100 juta dan ada pra-syaratnya.
Pemberian santunan itu terjadi di saat Indonesia secara bertahap mulai berpaling dari AS. Jika dulu ketergantungan Indonesia pada AS, relatif tinggi, tahun-tahun terakhir ini mulai dikecilkan. Contohnya, pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Setelah merasa dipermainkan AS dalam pengadaan suku cadang pesawat tempur F-16, Indonesia kemudian melirik Rusia. Sambutan negara bekas Uni Sovyet ini, ternyata positif. Rusia bersedia menjual pesawat-pesawat tempur Sukhoi dengan harga dan syarat lebih kompetitif.
Perubahan ini bagi Indonesia perlu dan mendesak. Sementara bagi AS, sesuatu yang tidak boleh terjadi. Indonesia harus terus berkiblat ke AS. Soalnya dampak ikutan dari rencana penggunaan Sukhoi oleh skuadron tempur Indonesia bakal meluas.
Dengan rencana TNI AU di 2024, Indonesia harus memiliki 160 buah pesawat Sukhoi, ini berarti penjaga keamanan udara NKRI, otomatis akan berubah. Teritori udara Indonesia akan dijaga personil-personil yang akrab dengan teknologi Rusia.
Penerbang-penerbang pesawat tempur Indonesia lebih bersahabat dengan Rusia yang nota bene masih merupakan 'musuh abadi' AS. Sehingga perubahan ini secara pencitraan bakal merugikan posisi dan kepentingan AS di Indonesia.
Ditambah lagi kemungkinan pembelian 160 buah pesawat Sukhoi itu akan membuat ratusan miliar dolar AS milik Indonesia berpindah ke rekening industri militer Rusia. Andaikan satu pesawat bernilai Rp1 triliun saja, sedikitnya Indonesia akan membelanjakan sekitar Rp160 triliun.
Padahal harganya bisa lebih mahal dari itu. Dana sebesar itu dari segi bisnis cukup menggiurkan. Sekaya-kayanya industri militer AS, mereka tetap menganggap dana miliaran dolar tersebut sebagai jumlah yang besar. Sejauh ini negosiasi jual beli Sukhoi itu masih belum final. Sehingga bagi AS, ada peluang merebut bisnis tersebut.
Itu sebabnya baik kunjungan Obama dan santunan AS Rp6,2 triliun, kepada Indonesia, tidak bisa dilihat dari satu sisi saja. Tetapi harus dilihat sebagai bagian dari sebuah transaksi.
Perspektifnya, semua transaksi ada hitungannya. AS tidak ingin kehilangan Indonesia, karena dalam kacamata bisnis sama dengan sebuah kerugian.
Sumber: INILAH
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment