Pertahanan negara yang tangguh harus diwujudkan, guna menghadapi berbagai bentuk ancaman, baik militer maupun nonmiliter, dari luar negeri maupun dalam negeri. Untuk mencapai hal itu, diperlukan sumber daya yang memiliki kemampuan dan kekuatan dengan jumlah yang cukup, dan siap setiap saat dioperasikan manakala dibutuhkan.
"Terkait dengan hal tersebut, Kementerian Pertahanan (Kemhan), sudah, sedang, dan akan terus melakukan optimalisasi program, yang antara lain merupakan tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Kekuatan Pertahanan (Ditjen Kuathan)," kata Dirjen Kuathan Kemhan Laksamana Muda (Laksda) Mochamad Jurianto SE, di Jakarta, kemarin. Berikut penjelasannya:
Masalah Kesehatan
Mewujudkan pertahanan negara yang tangguh, merupakan visi Kemhan 2010-2014. Dengan salah satu grand design adalah, meningkatkan kualitas personel pertahanan, yang di antaranya harus memiliki derajat kesehatan yang tinggi agar setiap saat siap menjalankan tugas pertahanan negara dengan segala macam kesulitannya. Terkait masalah ini, Kemhan telah memberikan perawatan kesehatan melalui hasil pengelolaan iuran pemeliharaan kesehatan (IPK) yang dikelola rumah sakit di lingkungan Kemhan dan TNI. Saat ini, rumah sakit dimaksud telah tersedia dengan berbagai tingkatan, mulai dari kelas IV, III, II, dan I. Namun, keberadaan rumah sakit Kemhan/TNI, dilihat dari aspek lokasi, belum sepenuhnya mampu mengakomodasi atau menjangkau lokasi penugasan prajurit TNI yang tersebar di berbagai daerah, bahkan di perbatasan dan wilayah terpencil.
Kondisi ini masih menimbulkan masalah bila ada prajurit atau keluarganya yang sakit, karena biaya perjalanan ke rumah sakit Kemhan cukup besar, termasuk waktu yang diperlukan. Dalam menghadapi masalah ini, Kemhan bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan, sedang berupaya mengefektifkan pemberdayaan dan pengelolaan IPK, termasuk subsidi pemerintah, melalui BPJS yang ditunjuk sesuai peraturan terkait. Masalah pemeliharaan kesehatan di lingkungan Kemhan dan TNI, begitu mendasar, karena berkorelasi langsung dengan kesiapan prajurit selaku komponen utama pertahanan negara. Karena, sewaktu-waktu mereka harus siap ditugaskan ke daerah operasi.
Tunjangan dan Santunan
Dirjen Kuathan memaparkan, dengan diundangkannya UU No 34/2004 tentang TNI, perlakuan dan penghargaan terhadap prajurit, khususnya penyandang cacat, mengalami perubahan. Pasal 55 Ayat 1 Huruf d UU TNI menentukan bahwa: "Prajurit TNI diberhentikan dengan hormat dari dinas keprajuritan karena tidak memenuhi persyaratan jasmani atau rohani".
Ketentuan tersebut hanya salah satu dari alasan pemberhentian dari dinas keprajuritan. Karena, masih terdapat beberapa alasan pemberhentian, baik dengan hormat maupun tidak hormat.
Pemerintah menghendaki postur TNI yang lebih baik dan profesional di bidangnya, sehingga mampu mengemban tugas dan tanggung jawab sebagai komponen utama pertahanan negara. TNI selalu siap meski berhadapan dengan risiko cedera fisik dan mental yang bisa mengakibatkan cacat jasmani atau rohani. "Oleh sebab itu, perhatian pemerintah dan DPR terhadap TNI, khususnya prajurit penyandang cacat, semakin besar," kata Laksda M Jurianto.
Dalam Pasal 57 UU TNI disebutkan bahwa: "Hak prajurit TNI yang menyandang cacat berat, sedang, dan ringan, yang diakibatkan karena tugas operasi militer, atau bukan militer selama dalam dinas keprajuritan, diatur dengan peraturan pemerintah (PP)". Sehingga, berdasarkan hal itu, pemerintah menetapkan PP No 56/2007 tentang Santunan dan Tunjangan Cacat Prajurit TNI. Ini juga ditindaklanjuti dengan penerbitan Peraturan Menhan Nomor 39 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pemberian Santunan dan Tunjangan Cacat Prajurit TNI.
Norma-norma yang ditetapkan dalam PP tersebut, antara lain diatur bahwa prajurit TNI penyandang cacat tingkat III (golongan C, B, dan A), dan tingkat II (golongan C, B, dan A), diberhentikan dengan hormat dari dinas keprajuritan. Dengan demikian, prajurit penyandang cacat tingkat III dan II tersebut, setelah mendapatkan rehabilitasi fisik, mental dan sosial di Pusat Rehabilitasi (Pusrehab) Kemhan, dapat menikmati hidupnya dan berkarya di masyarakat. Di sisi lain, institusi TNI tidak lagi memberikan beban dan tanggung jawab kepada prajurit penyandang cacat tersebut.
Khusus prajurit penyandang cacat tingkat I (golongan C, B, dan A), jelas Dirjen Kuathan, masih tetap berdinas sebagai prajurit aktif. "Karena, kondisi fisik dan mental mereka masih dapat mengabdi sebagai prajurit TNI dengan penempatan dalam jabatan yang disesuaikan dengan kondisinya," ujarnya.
Pasal 2 PP 56/2007 menentukan bahwa prajurit penyandang cacat diberikan santunan dan tunjangan cacat sebagai penghargaan pemerintah atas pengorbanannya, dan besarannya ditentukan atas dasar tingkat dan golongan kecacatannya. Santunan cacat diberikan hanya 1 (satu) kali, sedangkan tunjangan cacat diberikan setiap bulan, yang direncanakan dibayarkan terhitung mulai tanggal 1 Januari 2008.
Ada pun untuk santunan, rinciannya adalah, yang tertinggi diberikan kepada prajurit penyandang cacat tingkat III golongan C sebesar 18 (delapan belas) kali penghasilan terakhir. Dan yang terendah, prajurit penyandang cacat tingkat I golongan A sebesar 2 (dua) kali penghasilan terakhir.
Sedangkan, tunjangan yang tertinggi diberikan kepada prajurit penyandang cacat tingkat III golongan C sebesar 100 % dari gaji pokok terakhir. Kemudian, yang terendah, prajurit penyandang cacat tingkat II golongan A sebesar 25 % dari gaji pokok terakhir.
Bagi prajurit TNI penyandang cacat yang meninggal setelah PP 56/2007 diundangkan, maka permohonan diajukan oleh ahli waris. Realisasi pemberian santunan dan tunjangan cacat kepada prajurit TNI penyandang cacat masih menunggu penyelesaian Peraturan Menkeu tentang Pembayaran Santunan dan Tunjangan Cacat Prajurit TNI.
Selain santunan dan tunjangan, prajurit penyandang cacat masih memperoleh hak-hak lain sebagaimana diatur UU No 6/1966 tentang Pemberian Pensiun, Tunjangan Pensiun, Tunjangan Bersifat Pensiun, dan Tunjangan Kepada Militer Sukarela. Bahkan, berdasarkan Pasal 51 ayat (2) UU TNI, prajurit TNI juga dimungkinkan mendapat pesangon. Dan saat ini, UU No 6/1966 tentang Pemberian Pensiun, Tunjangan Pensiun, Tunjang Bersifat Pensiun, dan Tunjangan, sedang dilakukan peninjauan, antara lain guna penyesuaian dengan perpanjangan usia pensiun bagi prajurit TNI. Dengan demikian, kehidupan prajurit dan keluarganya, khususnya prajurit TNI penyandang cacat akan benar-benar dijamin oleh pemerintah.
Sumber: SUARA KARYA
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment