Dalam pernyataan publik pertamanya mengenai misinya bulan lalu ke Korea Utara untuk membebaskan seorang tahanan AS, Carter mengatakan, para pemimpin negara itu menyuarakan kekhawatiran atas tekanan akhir-akhir ini yang dilakukan oleh Korea Selatan dan AS.
"Mereka juga mengatakan, siap menunjukkan keinginan bagi perdamaian dan denuklirisasi," tulis Carter dalam artikel Kamis (16/9) di The New York Times.
"Mereka menyebut perundingan enam pihak sebagai 'dijatuhi hukuman mati namun belum dieksekusi'," kata Carter, menunjuk pada perundingan denuklirisasi dimana Korea Utara menarik diri tahun lalu.
Cater -- yang merundingkan sebuah perjanjian terdahulu untuk mengakhiri krisis dengan Korea Utara pada 1994 -- menegaskan kepada orang-orang Korea Utara bahwa ia bukan utusan AS. Namun, ia menyatakan menyampaikan pesan mereka (Korea Utara) kepada Washington.
"Penyelesaian Semenanjung Korea sangat penting bagi perdamaian dan stabilitas di Asia, dan hal ini sudah terlalu lama melampaui batas waktu," kata penerima Nobel Perdamaian itu.
"Pesan-pesan positif dari Korea Utara ini harus ditanggapi dengan agresif dan tanpa penundaan, dan setiap langkah dalam proses itu harus dipastikan secara hati-hati dan menyeluruh," tambahnya.
Selama kunjungannya ke Korea Utara, Carter bertemu dengan pemimpin-pemimpin senior namun tidak dengan Kim Jong-Il karena pemimpin tertinggi itu sedang melawat ke China.
Dalam artikel opini itu, Carter tidak menyinggung-nyinggung penenggelaman kapal Korea Selatan Cheonan pada Maret.
Sumber: MEDIA INDONESIA
Berita Terkait:
0 komentar:
Post a Comment